Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bara yang Tak Kunjung Padam di Pelauw

Kompas.com - 22/02/2012, 03:49 WIB

Kondisi ini berlangsung meski warga dari kedua kelompok hidup bertetangga di Pelauw tanpa ada sekat, juga terikat oleh tali persaudaraan. ”Seluruh orang Pelauw itu berasal dari satu rahim yang sama atau saling bersaudara yang dalam bahasa setempat disebut maningkamu,” kata Tokoh Pemuda Masyarakat Adat Negeri Pelauw, Bisri As Shiddiq Latuconsina.

Pelauw yang berpenduduk sekitar 7.900 orang, terdiri dari tiga belas soa (marga). Dalam satu soa, ada yang jadi bagian dari kelompok muka, ada pula yang menjadi bagian dari kelompok belakang. Bahkan dalam lingkup yang lebih kecil, yaitu keluarga, kondisi itu pun terjadi.

Ironisnya lagi, semua itu terjadi di desa yang banyak melahirkan tokoh-tokoh politik di Maluku. Bupati Maluku Tengah Abdullah Tuasikal dan Wakil Wali Kota Ambon Sam Latuconsina adalah satu di antaranya. Ikatan kekerabatan yang erat juga membuat orang-orang yang sudah berhasil sering membantu keluarga lainnya yang belum berhasil di Pelauw, baik untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari maupun membiayai sekolah.

Adanya sokongan inilah yang membuat anak-anak Pelauw bisa sekolah tinggi, minimal sekolah menengah atas. Itu tentunya ditopang pula oleh hasil bertani dan mencari ikan yang menjadi tumpuan masyarakat Pelauw. Posisi Pelauw yang berada di pesisir pantai memungkinkan dua profesi itu dijalani.

Menurut Ali, permusuhan yang sekian lama terjadi, di mana beberapa kali diwarnai bentrokan, telah menimbulkan dendam. Inilah yang membuat perdamaian sangat sulit dicapai meski dialog dan perdamaian telah berulang kali dilakukan.

Faktor dendam dan riwayat permusuhan yang sudah turun-temurun ini pula yang membuat Bupati Maluku Tengah Abdullah Tuasikal tidak memaksakan untuk mempertemukan kedua kelompok pasca-bentrokan. ”Tunggu kondisi masyarakat tenang dulu baru akan kami upayakan pertemuan kedua kelompok,” tambahnya.

Ketua Lembaga Antar Iman di Maluku, Abidin Wakano, menambahkan, bentrokan di Pelauw, dan juga di beberapa daerah lainnya di Maluku, selama setahun terakhir menunjukkan tidak adanya manajemen konflik yang baik. Padahal konflik sosial seharusnya bisa jadi pelajaran untuk mencegah bentrokan lain terulang lagi di Maluku. Apalagi pascakonflik, karakter masyarakat Maluku telah berubah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com