Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengelola Tambang, Mengelola Negara

Kompas.com - 16/03/2012, 02:13 WIB

Pemasukan negeri ini masih bisa dipacu jika bisa meniru langkah Brasil. Negeri di Amerika Selatan ini meminta 85 persen pendapatan pertambangan untuk negara dan sisanya untuk kontraktor.

Venezuela bahkan lebih berani. Semua perusahaan tambang emas dimiliki negara untuk digunakan bagi kepentingan rakyat.

Dana yang sudah dikantongi harus dimanfaatkan dengan baik dan berorientasi jangka panjang. Pemerintah Australia bisa menjadi contoh karena menggunakan uang hasil pajak dari sektor pertambangan untuk diinvestasikan kembali dalam bentuk penyediaan infrastruktur dan sumber daya lain. Dengan cara ini, hasil tambang yang merupakan salah satu pemasukan utama Australia bisa dinikmati seluruh warga dan mendukung pertumbuhan ekonomi Australia secara berkelanjutan.

Dominasi pihak asing dalam jangka panjang bukanlah hal baik. Sebab itu, Norwegia mewajibkan transfer teknologi dalam jangka 16 tahun sejak kesepakatan ditandatangani. Hasilnya, negara ini masuk ke jajaran negara yang unggul dalam eksplorasi mineral dan pengeboran gas di lautan dalam.

Menghemat cadangan

Indonesia juga dapat mempertimbangkan strategi yang tepat untuk menjaga kekayaan alam. Ada beberapa negara yang memiliki cadangan barang tambang di daerahnya, tetapi memilih mengimpor. Pertimbangan biaya produksi di dalam negeri yang lebih mahal mendorong mereka mengimpor komoditas pertambangan, terutama terkait dengan energi. Kelompok negara ini menganggap harga komoditas tambang di pasar internasional relatif lebih murah.

China, misalnya. Negeri ini diperkirakan memiliki cadangan batubara 114,5 miliar ton, yang cukup untuk suplai kebutuhan domestik. Namun, negara besar ini tetap membeli batubara dari pasar internasional karena alasan efisiensi. Sebagian besar pabrik yang butuh batubara berada di pantai, sementara pertambangan ada di pedalaman. Selain itu, rendahnya kualitas produk, banyaknya kecelakaan di area pertambangan, dan isu lingkungan juga menjadi penghambat produksi emas hitam dari dalam negeri.

Kondisi ini setali tiga uang dengan Kanada. Negara ini memiliki simpanan batubara terbesar nomor sepuluh di dunia. Hingga saat ini, Kanada masih membeli batubara dari negara lain. Alasannya, lokasi persediaan batubaranya ratusan hingga ribuan kilometer dari pusat industri dan pelabuhan, yang membuat biaya pengangkutan mahal. Hasilnya, persediaan batubara belum tersentuh dan lingkungan pun terjaga.

Selain batubara, Kanada juga memiliki cadangan pasir minyak dalam jumlah besar dan baru sebagian kecil dieksplorasi karena pertimbangan sama.

Dari sisi ekonomi, sikap Kanada dan China lebih menguntungkan ketimbang memilih menjadi eksportir. Dua negara ini mendapat bahan tambang dengan harga relatif rendah, cadangan bahan tambang tetap aman, dan lingkungan terjaga.

Ketika nanti batubara dan minyak milik mereka dapat diproduksi dengan biaya murah karena teknologi dan infrastruktur semakin baik, betapa gemuknya laba yang akan diperoleh di masa mendatang.

Pada saat itu, cadangan komoditas tambang utama Indonesia bisa jadi sudah tipis. Penerimaan kas negara pun menyusut karena sang penopang pemasukan utama makin berkurang.

Infrastruktur yang ada pun tak memadai mendukung sektor nonpertambangan maju jika pemerintah tak menginvestasikan hasil penerimaan tambang untuk prasarana. Sementara itu, sebagian besar keuntungan hasil ekspor sudah menguap ke negara asal investor asing.(Litbang Kompas)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com