Bangunan tua beratap seng karatan dengan dinding ”bebak” terletak persis di sisi jalan utama Desa Mota Ulun, Kecamatan Malaka Barat, Belu, Nusa Tenggara Timur. Setiap pelintas jalan utama di depan sekolah itu tahu kondisi sekolah tersebut, tetapi tak ada tindakan. Gedung SMA Katolik Besikama, Belu, itu sudah reyot dan tidak layak pakai.
Bentuk bangunan sudah miring ke sebelah kanan dan nyaris tumbang. Bagian dalam ruang kelas berantakan. Tak ada sekat pemisah antara ruang kelas yang satu dan ruang kelas lain, kecuali papan tripleks setinggi 1 meter, yang sebagian besar sudah hancur.
Papan tulis sebagian sudah sobek dan berlubang. Seluruh ruangan tampak reyot, tidak ada plafon sehingga bunyi hujan begitu terasa dan pada musim kemarau sangat panas (gerah).
Kursi meja yang seharusnya 40-50 tempat duduk hanya tersedia 20-30 unit. Itu pun sudah miring, patah, dan tidak ada sandaran punggung. Sebagian siswa terpaksa menulis di lantai atau menggunakan tempat duduk dan landasan menulis seadanya.
Lantai bangunan langsung tanah kosong. Hanya disirami batu kerikil dan pasir halus. Ketika banjir akibat daerah aliran sungai Benanain, Malaka Barat, meluap, seluruh ruangan tergenang air. Sekolah pun libur sampai menunggu air kering.
Tidak hanya ruang kelas, seluruh halaman sekolah bahkan seluruh bangunan sekolah juga terendam air banjir Benanain saat meluap. Dinding bangunan dari bebak, tulang daun dari pohon gewang, terendam air dan mulai lapuk. Padahal, bebak termasuk bahan bangunan yang bertahan sampai ratusan tahun.
Meski sedang tidak hujan (kering), sebagian areal halaman sekolah itu tergenang air berlumpur. Bahkan, beberapa bagian dinding bangunan tampak berlumut akibat luapan banjir Benanain.
Sekolah itu dibangun Yayasan Katolik Keuskupan Atambua, Belu, pada 2002 dengan tujuan membantu menampung lulusan SMPN dari Kecamatan Malaka Barat. Sebelumnya, anak-anak lulusan dua SMPN dari Kecamatan Malaka Barat mengikuti pendidikan SMAN di Kecamatan Malaka Tengah, 10 kilometer dari Malaka Barat.
Kepala SMA Katolik Sta Maria Ratu Rosari Besikama, Kabupaten Belu, Thomas Bere di Desa Mota Ulun, 95 kilometer dari Atambua, Senin (20/2), mengatakan, kebetulan wartawan datang ke sekolah itu sedang tidak hujan meski musim hujan. Sudah dua pekan terakhir wilayah tersebut kering dan menyisakan sejumlah titik genangan (kubangan air) mirip danau di sejumlah tempat.
Saat musim hujan, seluruh bangunan ini digenangi air. Sekolah terpaksa diliburkan sampai menunggu air surut.