Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berprestasi di Gedung Sekolah Reyot

Kompas.com - 22/03/2012, 07:25 WIB

”Meski serba kekurangan, kami tetap bekerja maksimal untuk berprestasi. Kami memanfaatkan semua sarana dan prasarana yang ada seefektif mungkin,” kata Bere.

Lulusan SMA Katolik itu sudah memasuki angkatan keenam. Persentase kelulusan tiga tahun terakhir masing-masing 100 persen (2011), 100 persen (2010), dan 95 persen (2009) dengan jumlah peserta ujian nasional 118, 123, dan 121 siswa.

Tahun 2007, sekolah itu mengikuti ujian nasional di SMAN Malaka Tengah, 10 kilometer dari Malaka Barat. Namun, sejak 2008, SMA Katolik Sta Maria Ratu Rosari menyelenggarakan ujian nasional sendiri sesuai keputusan Dinas Pendidikan Kabupaten Belu.

Jumlah keseluruhan siswa di SMA itu 326 orang, tertampung dalam tujuh ruangan belajar. Kelas III paralel A, B, C masing-masing dengan rombongan belajar 30-40 orang. Kelas I dan kelas II masing-masing paralel A-B saja dengan jumlah siswa 40-50 orang. Setelah naik kelas III, dibagi menjadi kelas III A, B, dan C.

Sebanyak 14 guru yayasan mengajar di sekolah tersebut dan hanya ada dua guru PNS. Dari 14 guru yayasan itu, yang sudah disertifikasi sebanyak lima guru, termasuk kepala sekolah.

Guru yayasan diberi honor Rp 500.000-Rp 1 juta per bulan, tergantung dari masa mengajar. Pihak yayasan meminta kepada dinas pendidikan setempat agar para guru swasta itu diangkat menjadi pegawai negeri, tetapi sampai saat ini belum terealisasi.

Pemerintah telah membangun satu unit SMAN Malaka Barat dan dua unit SMAN jarak jauh di wilayah itu pada 2007. Namun, kebanyakan siswa lulusan SMPN lebih memilih SMA Katolik Ratu Rosari.

Lamber Klau Nahak (45), wakil kepala sekolah bidang sarana dan prasarana ajar, mengatakan, kesulitan yang dihadapi sekolah itu tidak hanya menyangkut gedung sekolah yang sudah reyot, tetapi juga buku-buku pelajaran nasional yang menjadi sasaran ujian nasional, seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Fisika, Kimia, Sosiologi, Geografi, dan Ekonomi. Tahun 2010, sekolah itu mendapat bantuan buku-buku tersebut dari provinsi, tetapi pada tahun 2011 dan 2012 tidak ada lagi.

Terkait gedung yang tak layak pakai dan kesulitan buku pelajaran, Klau mengatakan, pihaknya sudah berulang kali menyampaikan permohonan bantuan kepada Gubernur NTT, anggota DPR, Farry Francis dan Jefri Riwu Kore, serta anggota DPRD NTT yang berkunjung melihat bencana banjir Benanain, tetapi tidak satu pejabat pun merespons.

”Mereka hanya janji, tetapi sampai hari ini tidak ada yang bersedia membantu. Mungkin karena ini sekolah swasta sehingga tidak ada perhatian pemerintah. Namun, sekolah ini, meski di tengah keterbatasan yang ada, telah menghasilkan lulusan yang tidak kalah dari lulusan SMA di Kota Kupang atau Atambua,” kata Klau.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau