Sejauh ini, wujudnya hanyalah dialog dengan tokoh agama yang difasilitasi organisasi agama, seperti Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), tanpa partisipasi dan dukungan pemerintah. Tentu saja hasilnya jauh dari harapan masyarakat Papua karena faktor keterlibatan, keterwakilan, dan aspirasi segenap masyarakat Papua diabaikan.
Di sisi lain, jumlah tahanan politik terus bertambah. Enam bulan terakhir tercatat paling tidak masih ada 30 orang yang menjadi tahanan politik.
Setelah pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah, peraturan ini merupakan kepanjangan tangan dari penerapan secara eksesif pasal-pasal makar dalam KUHP. Sejak itu banyak dikeluarkan kebijakan yang melarang pengibaran bendera Bintang Kejora, dan pengadilan terus memidanakan mereka yang menyebarkan sentimen pro-kemerdekaan. Itu sebabnya mereka yang terkait pengibaran bendera mendapat dakwaan makar, bahkan pengungkapan damai pun dilarang.
Pendekatan ”keamanan” terus diterapkan. Situasi di Papua semakin tidak menentu. Respons pemerintah lambat, ingin mengesankan hati-hati dan sangat ditentukan oleh upaya pencitraan. Tidak mengherankan jika implikasinya justru gagal mencegah memburuknya situasi.
Sikap, pernyataan, dan kebijakan presiden tidak memiliki
Untuk itu, penulis kembali mengingatkan bahwa persoalan di Papua adalah tanggung jawab secara menyeluruh dari pemerintah. Tidak cukup persoalan
Presiden sebaiknya juga jangan lari dari tanggung jawab dan mencari legitimasi dengan mengesankan seolah kewenangan presiden mengecil.