Dosen psikologi Universitas Indonesia, Winarini Wilman, mengatakan, persoalan kekerasan di kalangan pelajar dan penanganannya belum banyak beranjak. ”Persoalan tawuran ini baru dilihat sebatas masalah lokal, bukan masalah nasional. Kalau sudah menjadi masalah nasional, semua elemen masyarakat ikut terlibat dan ikut waspada di semua lini,” lanjutnya.
Winarini menambahkan, masa orientasi sekolah menjadi masa paling krusial untuk memutus rantai kekerasan kelompok. Masa itu harus diisi hal-hal produktif karena masa orientasi sekolah justru biasanya masa ketika kebencian kelompok itu diturunkan kepada siswa baru.
”Persoalan yang nyata (di antara dua sekolah) sebenarnya tidak ada. Tidak ada persoalan individual dalam perkara ini,” ujarnya.
Psikolog forensik yang juga Kepala Bagian Psikologi Polda Metro Jaya Arif Nurcahyo menjelaskan, ada dua perspektif dalam kasus tawuran ini, perspektif psikologi remaja dan psikologi massa.
Pada fase remaja, siswa mengalami masa transisi dari anak- anak menjadi dewasa. Perspektif psikologi massa menyangkut proses meleburnya individu dalam perilaku massa. Sebagai bagian dari perilaku massa, remaja mengalami deindividuasi yang berupa hilangnya tanggung jawab pribadi, tindakan irasional, dan tindakan sugestif.