JAKARTA, KOMPAS.com - Hanya dalam waktu setahun, 13 pelajar di Jabodetabek tewas mengenaskan gara-gara tawuran. Yang terakhir, Alawy Yusianto Putra, siswa SMA Negeri 6, Jakarta Selatan, meninggal terkena senjata tajam. Sudah sepantasnya pelaku tawuran dihukum pidana.
Pendidik Arief Rachman, Selasa (25/9), meminta agar kasus ini diproses secara hukum dan pelaku dipidana sesuai undang-undang sehingga memberikan efek jera bagi siswa lainnya.
Koordinator Koalisi Pendidikan Lody Paat menambahkan, sanksi tak hanya diberikan kepada pelaku tawuran, tapi juga jajaran manajemen sekolah. ”Masalah tawuran masih dalam konteks pendidikan di sekolah. Sekolah harus bertanggung jawab, terutama kepala sekolah sebagai pemimpin sekolah,” katanya.
Sanksi bagi manajemen sekolah juga ditujukan sebagai pemberi efek jera agar kepala sekolah, guru, komite sekolah, dan orangtua siswa bisa melaksanakan pola pendidikan yang benar. Menurut Lody, tawuran dan kekerasan antarmurid di sekolah terjadi karena guru sudah tidak berwibawa lagi.
Sepuluh nama
Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Untung S Rajab mengatakan, yang terjadi bukan tawuran, melainkan penyerbuan siswa SMAN 70 ke SMAN 6. Dalam penyerbuan itu, para pelaku membawa senjata tajam seperti gir dan celurit serta potongan kayu. ”Sudah ada 10 nama yang diserahkan pihak SMAN 70 ke polisi. Kami juga sudah memeriksa 5 saksi,” ujarnya.
Kepala Polres Metro Jakarta Selatan Komisaris Besar Wahyu Hadiningrat mengatakan, pihaknya terus mencari siswa berinisial F yang diduga mengayunkan senjata tajam ke arah Alawy. F adalah salah satu dari 10 siswa SMAN 70 yang diduga terlibat dalam penyerangan itu. Mereka belum ada yang ditahan. Hasil penyelidikan sementara, F telah dikejar ke rumahnya, tetapi ia tidak ada di tempat.
Meski demikian, ujar Untung, proses hukum tengah dan terus berjalan. Polisi juga berkoordinasi dengan menteri pendidikan dan pihak sekolah untuk mencari sistem pencegahan kekerasan di lingkungan sekolah yang lebih efektif.
Diberi sanksi
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan Musliar Kasim yang ditemui seusai pembukaan Olimpiade Sains Nasional Pertamina di Kampus Universitas Indonesia, Depok, kemarin, menyayangkan sekolah-sekolah favorit di Jakarta, seperti SMAN 6 dan SMAN 70, masih terlibat tawuran.
”Ada kemungkinan untuk memberikan sanksi kepada sekolahnya. Selama ini, sekolah yang terlibat tawuran tidak dikenai sanksi untuk membuat sekolah dan guru berupaya keras membenahi persoalan yang mendera mereka,” ujar Musliar.
Pemberian sanksi, lanjutnya, bisa dengan menurunkan status sekolah. Apabila sekolah berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional terlibat tawuran, statusnya bisa dikembalikan menjadi sekolah biasa.
Kasus ini harus ditanggapi serius, kata anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, Jhonny Simanjuntak. Perlu ada terobosan dari dinas pendidikan dan sekolah untuk meredam aksi kekerasan di kalangan pelajar.
Kalau perlu, harus ada sanksi tegas bagi institusi sekolah dan penanggung jawabnya jika ada siswa yang terlibat tawuran. Tindakan tegas sangat diperlukan karena tawuran sudah mengarah pada tindakan kejahatan, bukan sekadar kenakalan remaja.
”Ketegasan itu yang selama ini tidak ada. Kepala sekolah seharusnya tegas menjatuhkan sanksi bagi siswanya yang terlibat tawuran. Dinas pendidikan juga harus tegas menjatuhkan sanksi bagi kepala sekolah yang sekolahnya terlibat tawuran, misalnya diberi peringatan atau malah dipindahkan,” kata Jhonny.
Selama ini sekolah berkilah, terjadinya tawuran bukan tanggung jawab sekolah karena terjadi di luar sekolah dan jam sekolah. Padahal, jelas sekolah ikut bertanggung jawab.
Tim khusus
Saat jumpa pers di SMAN 6, Bulungan, Jakarta Selatan, kemarin siang, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh dan Gubernur DKI Fauzi Bowo menyatakan prihatin, turut berbelasungkawa, dan meminta maaf kepada seluruh masyarakat.
”Saya berbelasungkawa sedalam-dalamnya dan meminta maaf karena di dunia pendidikan kita masih ada kekerasan,” katanya.
Dalam tiga hari ke depan, ujar Nuh, pihaknya akan membentuk tim khusus di bawah pengawasan langsung direktur jenderal pendidikan menengah. ”Desk (tim khusus) ini terdiri dari perwakilan banyak pihak, termasuk dari kementerian, pihak sekolah, komite sekolah, dan lainnya. Desk akan menyelidiki dan memantau hari per hari untuk mengungkap penyebab pasti tawuran ini dan menemukan solusi guna mengatasinya,” katanya.
Masalah nasional
Dosen psikologi Universitas Indonesia, Winarini Wilman, mengatakan, persoalan kekerasan di kalangan pelajar dan penanganannya belum banyak beranjak. ”Persoalan tawuran ini baru dilihat sebatas masalah lokal, bukan masalah nasional. Kalau sudah menjadi masalah nasional, semua elemen masyarakat ikut terlibat dan ikut waspada di semua lini,” lanjutnya.
Winarini menambahkan, masa orientasi sekolah menjadi masa paling krusial untuk memutus rantai kekerasan kelompok. Masa itu harus diisi hal-hal produktif karena masa orientasi sekolah justru biasanya masa ketika kebencian kelompok itu diturunkan kepada siswa baru.
”Persoalan yang nyata (di antara dua sekolah) sebenarnya tidak ada. Tidak ada persoalan individual dalam perkara ini,” ujarnya.
Psikolog forensik yang juga Kepala Bagian Psikologi Polda Metro Jaya Arif Nurcahyo menjelaskan, ada dua perspektif dalam kasus tawuran ini, perspektif psikologi remaja dan psikologi massa.
Pada fase remaja, siswa mengalami masa transisi dari anak- anak menjadi dewasa. Perspektif psikologi massa menyangkut proses meleburnya individu dalam perilaku massa. Sebagai bagian dari perilaku massa, remaja mengalami deindividuasi yang berupa hilangnya tanggung jawab pribadi, tindakan irasional, dan tindakan sugestif. (NEL/RAY/WIN/FRO/PIN/eln)
Berita terkait peristiwa ini dapat diikuti dalam topik "Tawuran SMA 70 dan SMA 6"