Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demokratisasi Penyiaran

Kompas.com - 11/10/2012, 02:42 WIB

Ade Armando

Mahkamah Konstitusi, pekan lalu, menolak gugatan kelompok masyarakat sipil terhadap pasal-pasal dalam UU Penyiaran yang dianggap memungkinkan praktik- praktik pemusatan kepemilikan stasiun televisi, yang pada prinsipnya bertentangan dengan amanat UUD 1945.

Secara spesifik, Komite Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP)—terdiri atas AJI, LBH Pers, Yayasan 28, PR2media, dan Media Link—sebagai penggugat menyebut Pasal 18 (1) dan Pasal 34 (4) sebagai pasal-pasal bermasalah. Pasal-pasal ini menyebabkan adanya ketidakpastian hukum dan ketiadaan jaminan atas kebebasan menyatakan pendapat.

Untuk jelasnya, Pasal 18 (1) UU No 32/2002 tentang Penyiaran menyatakan, pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran swasta harus dibatasi. Sementara Pasal 34 (4) menyatakan, izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) dilarang dipindahtangankan dengan cara diberikan, dijual, atau dialihkan kepada pihak lain.

Menurut KIDP, perumusan pasal-pasal tersebut sangat tidak tegas sehingga memungkinkan para pelaku industri di Indonesia saat ini melakukan praktik pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran. Kekhawatiran KIDP bukan tak beralasan. Sepuluh stasiun terbesar yang bersiaran nasional kini dikuasai oleh empat kelompok utama: Grup MNC (RCTI, MNCTV, Global); Bakrie (AnTv dan TVOne); Emtek (SCTV dan Indosiar); TransCorp (TransTV dan Trans-7). Pengelompokan ini belum memasukkan Metro TV, yang belakangan ini merapat dengan kelompok MNC akibat keterkaitan politik.

Bagi penggugat, ini menjadi mengkhawatirkan karena media televisi bukanlah sekadar bisnis media biasa. Stasiun televisi beroperasi dengan menggunakan frekuensi siaran yang merupakan milik publik dan jumlahnya terbatas. Pemusatan kepemilikan akan mengancam hak rakyat untuk menyebarkan dan menerima informasi. Di pihak lain, televisi adalah sebuah media sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial-politik-ekonomi suatu masyarakat. Bila industri penyiaran dikuasai hanya oleh segelintir kelompok, dikhawatirkan itu akan berdampak negatif pada kualitas demokrasi dan kesejahteraan masyarakat banyak.

Karena itu, penggugat meminta MK memberikan tafsiran yang tegas yang tak akan mungkin disalahgunakan di lapangan. Pertama, MK diminta menetapkan secara tegas apa yang dimaksud dengan ”pembatasan kepemilikan harus dibatasi”. Selama ini, integrasi horizontal dalam industri penyiaran berlangsung dengan mudah karena para pelaku berdalih tak pernah ada larangan terhadap praktik itu.

Kedua MK diminta juga memberikan sikap tegas terhadap isu akuisisi perusahaan. Sebab sebuah perusahaan bisa saja membeli saham dominan di perusahaan lain dan mereka menyatakan tak melanggar UU karena yang dilakukan bukanlah ”pemindahtanganan”.

Permintaan itu yang ditolak MK. Namun, jangan salah tangkap. MK tidaklah merestui pemusatan kepemilikan. Yang MK katakan, pasal-pasal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 45 dan tidak memerlukan tafsiran lebih jauh dari MK.

Bagi MK, UU Penyiaran sudah sangat tegas menolak pemusatan kepemilikan. Dan, kalau sekarang ternyata dalam kenyataannya berlangsung kecenderungan ke arah monopoli kepemilikan dan monopoli informasi, yang harus bertanggung jawab adalah pemerintah. Bagi MK, ini bukan masalah konstitusionalitas, melainkan masalah implementasi norma.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com