Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demokratisasi Penyiaran

Kompas.com - 11/10/2012, 02:42 WIB

Kegagalan pemerintah

Dengan mengikuti logika MK, bisa dikatakan yang bermasalah bukanlah UU, melainkan lembaga yang seharusnya menerjemahkan amanat UU itu dalam bentuk rangkaian kebijakan yang dapat diterapkan di lapangan.

Di Indonesia sebenarnya ada dua lembaga pengatur dunia penyiaran, yaitu pemerintah (diwakili Kementerian Komunikasi dan Informasi) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Namun, keputusan MK pada 2004 sudah menyatakan bahwa yang berwenang mengeluarkan peraturan tentang penyiaran, selain pengaturan isi, adalah Menteri Kominfo.

Keputusan MK 2004 itu berakibat fatal. Dalam 10 tahun terakhir bisa dibilang

pemerintah dengan enteng mengabaikan saja kewajiban untuk menata kehidupan industri penyiaran yang memiliki makna sangat strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangankan soal monopoli yang rumit, urusan izin penyelenggara penyiaran (IPP) saja tak beres-beres. Bayangkan, mayoritas lembaga penyiaran di Indonesia ini sebenarnya beroperasi tanpa izin final yang seharusnya dikeluarkan pemerintah bersama KPI. Ada ratusan stasiun yang hanya memiliki izin prinsip walau sudah mengurus izin sejak 8-9 tahun.

Pemerintah bukannya tak mengeluarkan peraturan pemerintah atau keputusan menteri tentang penyiaran. Menkominfo Sofyan Jalil, misalnya, pernah mengeluarkan paket empat PP penyiaran pada 2005. Tapi isinya demikian buruk sehingga sampai kini tak pernah bisa dijalankan.

Pengaturan soal kepemilikan adalah contoh baik. PP No 50/2005 menyatakan, sebuah lembaga penyiaran televisi hanya boleh menguasai 100 persen saham di satu badan hukum. Lembaga itu boleh memiliki saham di badan hukum kedua, tetapi dengan batas saham 49 persen. Lantas di badan hukum ketiga, maksimalnya 20 persen. Di badan hukum keempat, tinggal 5 persen.

Kominfo agaknya menetapkan peraturan ini dengan asumsi yang beroperasi di Indonesia adalah lembaga penyiaran raksasa yang bisa bersiaran nasional. Padahal, UU Penyiaran menyatakan bahwa tak ada lagi lembaga penyiaran nasional seperti yang dikenal di Indonesia sekarang ini. Yang ada adalah jaringan stasiun televisi nasional, di mana setiap jaringan diwajibkan memiliki stasiun-stasiun lokal di setiap daerah.

Ambil contoh RCTI. Menurut UU Penyiaran, RCTI nantinya harus berubah menjadi jaringan dengan rangkaian stasiun televisi lokal yang akan membawa siaran RCTI ke seluruh Indonesia. Dengan demikian, akan ada RCTI Jawa Barat, RCTI Jawa tengah, dan seterusnya.

Kalau ketetapan PP itu diberlakukan, RCTI Jakarta hanya boleh menguasai 49 saham di RCTI Jawa Tengah, dan hanya 20 persen saham di RCTI Jawa Timur, serta hanya 5 persen saham di RCTI-RCTI provinsi lain. Bila ini diberlakukan, industri pertelevisian Indonesia runtuh seketika.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com