JAKARTA, KOMPAS.com — Rencana tidak diwajibkannya lagi mata pelajaran Bahasa Inggris di jenjang dasar pendidikan dasar di sekolah melibatkan bahasa Indonesia. Berdasarkan salah satu pernyataan pejabat kementerian yang mengurusi pendidikan dan kebudayaan di negara ini di suatu kesempatan, penguasaan terhadap bahasa pemersatu Tanah Air ini disebut-sebut sebagai kambing hitam.
Bukan tanpa pengalaman. Dengan kemampuan otaknya yang cerdas, anak-anak sekarang sudah mampu menguasai bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Dalam pembicaraan sehari-hari, para orangtua membiasakan anak-anak mereka untuk bercakap-cakap dalam bahasa Inggris. Di mal-mal, percakapan antara orangtua dan anak dalam bahasa Inggris sudah biasa didengar. Di rumah juga apalagi. Oleh karena itu, tak sedikit anak yang tumbuh dengan pemahaman yang lebih baik terhadap bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia.
Sementara itu, sebagian orangtua lagi, dan juga generasi usia 30 tahun ke atas, mulai resah terhadap masa depan bahasa Indonesia menyusul maraknya penggunaan bahasa alay, bahasa percakapan gaul remaja masa kini, dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari iklan televisi sampai soal ulangan di sekolah pun sudah tertular demam alay.
Keresahan ini juga bukan tanpa dasar. Masalahnya, bahasa alay digunakan setiap hari sebagai bahasa percakapan oleh anak-anak dan para remaja yang sedang mencari identitas diri. Namun, bukannya bahasa itu mudah dikuasai saat dibiasakan?
Belum lagi soal teladan para negarawan dan tokoh publik. Ajip Rosidi, salah satu sastrawan Indonesia, mengungkapkan kegelisahannya terhadap nasib bahasa Indonesia. Ajip menyoroti penggunaan bahasa "gado-gado" di kalangan tokoh publik, mulai dari para pejabat, kaum intelektual, sampai para selebriti.
"Mereka minder atau takut dianggap bodoh ketika menyampaikan pikirannya dengan bahasanya sendiri!" ungkapnya.
Dalam penyelenggaraan ujian nasional (UN) untuk SMA, termasuk tahun ini, fenomena menarik muncul. Selain karena matematika, banyak siswa yang tidak lulus karena gagal meraih nilai minimal dalam ujian mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Jadi, lengkaplah sudah. Ada apa dengan bahasa Indonesia?
Tidak menarik
Harus diakui, anak-anak lebih tertarik dan berminat belajar bahasa Inggris dan bereksperimen dengan bahasa alay. Dalam opininya yang diterbitkan Kompas, 23 Oktober lalu, dosen Psikologi IAIN Sunan Ampel, Surabaya, Ainna Amalia FN, menduga ada masalah dengan kemasan pembelajaran bahasa Indonesia dari tahun ke tahun. Seharusnya, pencarian metode pembelajaran yang menariklah yang menjadi fokus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), guru dan institusi sekolah.
"Penyelesaiannya bukan dengan menghilangkan bahasa yang lebih menarik minat, melainkan perbaiki dan bikin menarik pelajaran bahasa yang kurang mendapat perhatian dan minat itu. Sebab, penguasaan bahasa Indonesia merupakan tanggung jawab sosial anak sebagai bahasa nasional. Di sisi lain, bahasa Inggris juga penting sebagai bekal generasi kita dalam menghadapi era globalisasi," demikian ditulisnya.
Menurut Ainna, tak ada masalah dengan kemampuan anak untuk mempelajari beberapa bahasa sekaligus. Namun, akar bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional harus lebih kuat ditanamkan daripada bahasa asing lainnya, bahkan bahasa alay sekalipun.
Pudarnya kebanggaan
Ketidaktertarikan menyebabkan pula masalah lain yang tak kalah peliknya. Pudarnya kebanggaan. Siapa yang masih bangga berbahasa Indonesia saat ini?
Tingginya angka kegagalan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia selama penyelenggaran UN tahun ini ditengarai terjadi karena adanya pergeseran nilai di kalangan generasi muda. Bahasa Indonesia dianggap sebagai mata pelajaran yang tidak penting dibandingkan bahasa asing.
Perancis, China, dan Inggris menjadi sejumlah contoh negara yang maju karena kebanggaannya terhadap tanah airnya. Sampai saat ini, mereka pun bangga menggunakan bahasa induknya dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi akan sulit jika tak mencoba menguasai bahasa mereka saat orang asing datang ke negara-negara tersebut.