Suasana kelas yang kering dan dipenuhi norma berperilaku dalam standardisasi kolektif telah menghilangkan daya ekspresi anak. Benar bahwa program demi program, baik bersifat psikologis maupun religius, ditambahkan untuk membentuk sikap anak. Ironisnya, semua kegiatan tersebut, mulai dari retret hingga pesantren kilat, acap diadakan justru di masa liburan ketika anak-anak sedang menikmati kemerdekaan bermain.
Seorang sahabat guru SD di Geraldton, Australia barat, mengatakan bahwa untuk ukuran moral dan agama, anak Indonesia tak terkalahkan. Mereka fasih melafalkan ayat-ayat kitab sucinya, bahkan berceramah mengenai moralitas dan etika.
Pakaian sekolah pun sangat rapi, bagian atas putih dan bawah merah, lengkap dengan celana berikat pinggang kulit berwarna hitam untuk siswa laki-laki. Tak lupa, emblem merah putih beberapa sentimeter di atas saku baju. Semua sama, bahkan ukuran tinggi kaus kaki putihnya.
Meminjam bahasa Henry A Giroux (2006), inilah badai budaya positivisme pada wilayah sekolah. Ilmu-ilmu direduksi bukan karena kompleksitasnya, melainkan karena dianggap tak berguna. Bagi negara dan arus utama masyarakat, guna sekolah bagi anak memang bukan untuk membentuk ”anak yang cerdas secara sosial atau kritis kepada masyarakat, negara, agama, keluarga, bahkan dirinya sendiri. Sekolah berguna cukup untuk membuat anak menjadi saleh dan terampil sehingga: ”Sudahlah, jangan dipusingkan lagi, yang penting Agama, PPKn, dan Matematika dikuatkan,” ujar pegawai dinas pendidikan kepada saya.
Pertanyaannya, dengan IPS disederhanakan, siapkah anak- anak kita hidup di tengah masyarakat yang sarat otoritarianisme birokrat, korupsi, dan fundamentalisme agama?