Kesenjangan yang Masih Mencemaskan

Kompas.com - 20/12/2012, 08:52 WIB
Ester Lince Napitupulu, Try Harijono

Penulis

KOMPAS.com - Keluhan para orangtua siswa di sejumlah daerah nyaris sama. Mereka umumnya mengeluh karena jumlah mata pelajaran yang harus ditempuh anaknya, sangat banyak. Bayangkan saja, SD minimal 10 mata pelajaran, SMP 12 mata pelajaran, dan SMA 17 mata pelajaran.

Banyaknya mata pelajaran yang harus ditempuh siswa bukan hanya menyebabkan siswa tidak fokus. Namun, siswa setiap hari juga harus membawa buku pelajaran yang membebani tas dan pundaknya. Tak cuma buku pelajaran, siswa juga harus membawa lembar kerja siswa yang juga cukup banyak.

Persoalan inilah yang antara lain dipecahkan melalui penyusunan Kurikulum 2013. Jumlah mata pelajaran di semua jenjang pendidikan dipadatkan. Di SD dipadatkan dari 10 mata pelajaran menjadi 6 mata pelajaran, di SMP dari 12 menjadi 10 mata pelajaran.

Namun, penyusunan Kurikulum 2013 ini tak berjalan mulus. Banyak pihak mempertanyakan penggabungan mata pelajaran IPA ke dalam Bahasa Indonesia di SD. Selain menghilangkan substansi pelajaran IPA, dikhawatirkan materi pelajaran Bahasa Indonesia menyangkut kesusastraan, ejaan yang disempurnakan, dan materi lainnya akan hilang.

Di sisi lain, menumbuhkan kecintaan terhadap sains yang mestinya dilakukan sejak dini melalui pelajaran IPA menjadi diabaikan. ”Padahal, kemampuan bernalar siswa Indonesia tergolong rendah di Asia. Mestinya pelajaran sains dikenalkan sejak dini,” kata Nuryani Y Rustaman, Ketua Himpunan Sarjana Pendidikan IPA Indonesia.

Dari hasil Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) yang dipublikasikan awal Desember lalu, untuk bidang Sains, Indonesia berada di urutan ke-40 dengan skor 406 dari 42 negara yang siswanya dites di kelas VIII. Skors tes sains siswa Indonesia ini turun 21 angka dibandingkan TIMSS 2007.

Kreativitas guru

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menekankan, arah Kurikulum 2013 terutama untuk membentuk siswa yang memiliki kepribadian, kreatif dan terampil serta berpengetahuan.

”Dengan kurikulum 2013, guru harus memiliki kreativitas untuk bisa mendorong potensi siswa,” kata Nuh.

Namun, di sinilah masalah itu timbul. Guru-guru yang kreatif, mestinya memiliki latar belakang pendidikan yang memadai. Kenyataannya, dari sekitar 2,9 juta guru, sebagian besar belum memadai pendidikannya. Di sekolah dasar, misalnya, dari sekitar 1,48 juta guru SD, hanya sekitar 22,6 persen yang sudah perpendidikan S-1. Di SMP, baru sekitar 27 persen yang sudah S-1 dan baru sekitar 81 persen guru SMA yang bergelar sarjana.

Sebagian besar guru yang sarjana itu pun mengajar di sekolah-sekolah yang berada di perkotaan. Adapun sekolah-sekolah di pedesaan masih minim guru berkualitas. Di sinilah kesenjangan itu muncul.

Disparitas juga terjadi dalam status guru. Dari sekitar 2,9 juta guru di berbagai jenjang pendidikan, sekitar 1,7 juta berstatus pegawai negeri sipil, sedangkan 1,2 juta guru lainnya berstatus non-PNS mulai dari guru bantu, guru honorer daerah, hingga guru tidak tetap.

Guru-guru PNS yang sudah bersertifikasi sehingga kesejahteraannya lebih baik pun sebagian besar berada di perkotaan. ”Jumlah guru sebenarnya sudah memadai, tetapi penyebarannya tidak merata,” kata Syawal Gultom, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kemendikbud.

RSBI

Kesenjangan lain yang masih dirasakan masyarakat adalah kehadiran Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Keberadaan sekolah ini dirasakan menyekat-nyekat status sosial masyarakat. Hanya siswa dari keluarga kaya yang bisa masuk sekolah ini karena biaya masuknya bisa di atas Rp 20 juta. Itulah sebabnya keberadaan RSBI hingga kini dalam proses gugatan hukum ke MK untuk menggugat dasar hukumnya.

Di perguruan tinggi negeri, kesenjangan calon mahasiswa mulai dibenahi. Semula jalur mandiri yang dibuka oleh sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN), betul-betul menjadi ajang ”mengeruk” uang dari orang tua calon mahasiswa. Biaya masuk PTN bisa di atas Rp 400 juta untuk sejumlah program studi. Kini pola seleksi calon mahasiswa lewat jalur mandiri dibenahi.

PTN pun diwajibkan menjaring mahasiswa miskin minimal 20 persen dari kapasitas kursi yang tersedia. Tak sekadar menyediakan kursi, tetapi beasiswa uang kuliah dan biaya hidup dalam bentuk beasiswa Bidik Misi Rp 600.000 per bulan juga diberikan pada mahasiswa.

Jumlah penerima beasiswa Bidik Misi pun terus meningkat dari 20.000 mahasiswa pada tahun 2010 menjadi 30.000 mahasiswa tahun 2011, naik lagi menjadi 40.000 dan ditargetkan bisa menjadi 150.000 mahasiswa pada 2013.

Jika kesenjangan di PTN bisa dibenahi, mestinya di sektor lain bisa dilakukan. Jika dibiarkan, kesenjangan ini sangat mencemaskan.... (ELN/THY)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
    atau