Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merawat Warisan Sisa-sisa Laskar Diponegoro

Kompas.com - 06/01/2013, 04:52 WIB

Aryo Wisanggeni G & Jean Rizal Layuck

Suryati Pulukadang (67) tertawa ketika diajak berbicara bahasa Jawa. ”Tidak ada yang tahu bahasa Jawa di Kampung Jawa sini,” katanya. ”Sehari-hari kami hidup dengan bahasa Jaton, bahasa para ibu pertama orang Jaton, orang Minahasa Tolour,” kata Suryati.  

Pertengahan Desember itu kami berbincang di rumah panggung Suryati yang kokoh dengan kayu-kayu yang mengilat karena dimakan usia. Sebuah rumah tradisional Minahasa berhalaman luas yang dibangun tahun 1920 oleh kakeknya, Hasan Pulukadang.

To wisa sia?” tanya Suryati tertawa, membalas berbicara dalam bahasa Jaton. ”Tidak tahu, kan, itu artinya ’orang mana?’. Bahasa Jaton memang lebih banyak memakai kosakata bahasa Minahasa. Kan, para ibu yang mengasuh anak-anak pertama Jaton,” kata Suryati.

Deretan rumah panggung di Kampung Jawa memang lebih mengesankan permukiman orang Minahasa ketimbang sebuah permukiman anak keturunan Kiai Modjo, pengikut Diponegoro, yang diasingkan Belanda ke Tondano pada 1828. Kampung Jawa, yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Tondano, ibu kota Kabupaten Minahasa, malah ”lebih Minahasa” daripada Tondano yang semakin menjadi kota.

Orang Jaton bisa berbahasa Minahasa. Sebaliknya, orang Minahasa bisa bingung bercakap di Kampung Jawa karena kosakata Jawa terselip tak beraturan. Sebut saja kata seperti jagongan atau kongkow-kongkow, sajen (sesaji), dan gombal alias kain lap.

Kosakata bahasa Jawa banyak berseliweran dalam tuturan orang Jaton, seperti sega yang artinya nasi, njaba (halaman), wedang (air masak), tingkepan atau mitoni yang artinya selamatan tujuh bulan kehamilan, dan midodareni (malam selamatan mempelai wanita). ”Semua masih kami jalankan sesuai dengan adat istiadat Jawa. Kami beragama Islam, tinggal dalam rumah tradisional Minahasa,” kata Suryati tersenyum.

Usman Hadji Djaafar, warga Kampung Jawa lainnya, bercerita tentang ”bahasa bapak” yang hadir dalam berbagai ritual orang Jaton, yang didasarkan pada ritual Islam dan Jawa. ”Kalau mendoakan orang, kami berujar paringana bagas kewarasan.... Yang artinya beri kami kesehatan.”

Semua penyebutan bulan penanggalan Islam mengikuti penamaan Jawa. Penyebutan hari pun mengikuti kosakata Jawa, misalnya menyebut hari Minggu sebagai hari Akat—dari kata Ahad. ”Nasi jagung kami sebut sega jagung. Simbah, mbakyu, kakang masih kami pakai untuk menyebut kakek-nenek, kakak perempuan, atau kakak laki-laki,” kata Usman. 

Hibridasi yang hidup 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com