Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merawat Warisan Sisa-sisa Laskar Diponegoro

Kompas.com - 06/01/2013, 04:52 WIB

Hibridasi budaya Jaton memang unik dan hadir tak terduga. Contoh adalah asal-usul oleh-oleh khas Gorontalo, yaitu jenang kacang. Ini adalah serupa bubur kental berbumbu kacang yang dibungkus daun lontar yang biasanya tersuguhkan dalam Lebaran Ketupan orang Jaton.

”Saya juga tidak tahu bagaimana para ibu kami mengenal resep membuat jenang. Yang jelas orang Gorontalo ataupun orang Minahasa tidak memiliki resep jenang seperti jenang kacang kami. Saya mulai berjualan jenang itu sekitar 30 tahun lalu, dan tidak menyangka kalau sekarang dianggap oleh-oleh khas Gorontalo,” kata Hasanah Haji Ali (60), salah satu pembuat jenang di Kampung Reksonegoro, Gorontalo.

Seperti di Kampung Jawa, Reksonegoro pun dipadati rumah panggung khas Minahasa yang berderet di kiri-kanan jalan, berbicara dalam bahasa Jaton, serta menjalankan semua adat istiadat dan budaya orang Jaton, baik yang berakar pada tradisi Jawa, tradisi Minahasa, maupun tradisi Sumatera yang tampak hingga kini.

Dengan segala hibridasi itu, antropolog Universitas Sam Ratulangi, Albert WS Kusen, justru menyebut orang Jaton sebagai salah satu kelompok yang mempertahankan banyak budaya orang Minahasa. ”Ini nyata. Kalau ingin melihat rumah tradisional Minahasa, cara termudah memang dengan mendatangi kampung-kampung orang Jaton,” kata Kusen.

Kusen memaparkan, orang Jaton menyerap begitu banyak budaya orang Minahasa karena sejak awal hubungan para pengikut Kiai Modjo dan orang Minahasa begitu baik dan toleran. Kiai Modjo bahkan bersahabat dengan misionaris Jerman Johann F Reidel. Orang-orang Jaton bersama orang Minahasa di Tondano membangun Gereja Sentrum Tondano. ”Ini merupakan persentuhan yang semakin menyatukan keseharian pengikut Kiai Modjo dan orang Tondano,” tandas Kusen.

Merawat nilai

Saad Kono (50) menuturkan, toleransi orang Jaton tewariskan dari generasi ke generasi. ”Sebagai keturunan para pengikut Kiai Modjo dan para ibu dari Minahasa, kami bukan orang lain di Minahasa. Kami saudara sendiri meski memang berbeda agama, misalnya,” kata Kono.

Kono menuturkan, semakin lama semakin banyak generasi Jaton berikutnya yang kawin-mawin dengan sesama orang Jaton. Namun, hubungan kekerabatan dengan orang Minahasa tak pernah terputus biarpun itu terjadi beberapa generasi lampau.

”Saya, misalnya, masih mengikuti maukar atau arisan di kerabat orang Minahasa. Arisan yang nilainya kecil, tetapi menjadi jembatan merawat hubungan kekerabatan,” kata Kono.

Orang-orang Jaton seperti Kono tak melulu sekadar berkebun. Orang Jaton semakin banyak yang bersekolah tinggi dan pergi merantau jauh. Mereka menjadi pejabat di sejumlah daerah. ”Saya memilih jadi pedagang sayur antarpulau,” kata Kono tertawa.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com