KOMPAS.com - Bagi Eko Cahyono (32), berbagi itu ibarat candu. Melalui perpustakaan kampung yang dirintisnya, dia menyediakan berbagai jenis buku secara gratis selama 24 jam. Dia seperti tak pernah lelah menularkan ”virus” membaca.
Perpustakaan Anak Bangsa yang dia kelola terletak di Dusun Karangrejo, Desa Sukopuro, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Tempat itu berjarak sekitar 30 kilometer arah timur Kota Malang.
Ruangan perpustakaan seluas 6 meter x 12 meter itu dibangun di sudut Dusun Karangrejo. Halaman depannya ditumbuhi beragam jenis tanaman obat, membuat lokasi itu tampak hijau.
Bangunan perpustakaan itu tanpa pintu dan dibuka untuk umum selama 24 jam setiap hari. ”Perpustakaan ini tak pernah tutup. Siapa pun boleh masuk dan meminjam buku meski saya ke luar kota,” kata Eko.
Sejak dirintis tahun 1998, Perpustakaan Anak Bangsa memiliki koleksi lebih dari 53.000 buku hasil sumbangan donatur dan berbagai lembaga. ”Sekitar 60 persen koleksinya saya sebar ke luar perpustakaan. Di sini ada 26 sudut baca, termasuk warnet (warung internet), pasar, dan pangkalan ojek,” ujarnya.
Jumlah anggota Perpustakaan Anak Bangsa tercatat lebih dari 8.000 orang dengan berbagai latar belakang, dari pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga, pekerja pabrik, pedagang pasar, penjual bakso, tukang ojek, hingga buruh bangunan.
Koleksi perpustakaan itu dihimpun Eko selama 14 tahun. Berbagai pengalaman pahit pernah dia rasakan, seperti diusir dari rumah, diprotes warga kampung, hingga digeledah aparat.
Koran dan majalah
Berawal dari hobi membaca, Eko merintis taman bacaan berbekal 30 kilogram koran bekas dan 400 eksemplar majalah usang. Bacaan itu digelar di teras rumah orangtuanya untuk menarik minat baca warga kampung.
Kegiatan itu dia lakukan selepas terkena pemutusan hubungan kerja dari perusahaan konfeksi. Ia tergerak menyebarkan ”virus” membaca setelah melihat masih banyaknya warga kampung yang buta huruf.
”Saya melihat ada orang tua di kampung yang membaca koran terbalik. Hal itu membuat saya tergerak untuk membuka perpustakaan,” ucapnya.
Untuk memancing minat baca warga, ia meletakkan gitar, permainan ular tangga, dan dakon di teras rumah. Berawal dari sekadar kumpul dan bermain, warga mulai tertarik membaca. Minat baca mereka membuat koleksi bacaan Eko jadi terasa minim. Ia lalu bergerak meminta sumbangan dari para pencinta buku.
Bahkan, Eko rela menunggu seharian di depan Toko Buku Gramedia, Malang, misalnya, demi ”mencegat” pengunjung yang menenteng banyak buku. Ia juga mendatangi warga dari rumah ke rumah, kalau-kalau mereka mau menyumbangkan koleksi bukunya. Alhasil, ia bisa menambah koleksi buku untuk perpustakaan.
Ketika koleksi buku perpustakaan bertambah dan semakin banyak warga kampung yang datang, Eko justru diprotes orangtuanya karena rumah menjadi gaduh. Ia kemudian mencari rumah kontrakan dengan memboyong semua koleksi bukunya. Biaya untuk mengontrak dan pindah itu dia peroleh dari hasil menjual sepeda motornya.
Namun, masalah lain muncul. Perpustakaan yang dikelolanya diprotes warga. Bahkan mereka menuduh perpustakaan itu sebagai tempat maksiat hanya karena banyak anak muda suka datang ke rumah kontrakan itu.
Perpustakaan Anak Bangsa pun pernah didatangi polisi karena mendapat laporan warga yang menyebutkan banyak bacaan berisi pornografi. Semua tuduhan itu tak terbukti. ”Polisi yang datang malah meminjam buku dari perpustakaan,” ucap Eko sambil tertawa.