Berbagi "Virus" Lewat Perpustakaan Kampung

Kompas.com - 19/01/2013, 13:24 WIB
Harry Susilo

Penulis

Anak muda yang datang dan berkumpul di Perpustakaan Anak Bangsa kemudian tak sekadar membaca buku. Mereka juga belajar menulis, menggambar, dan berdiskusi. Jadilah di perpustakaan itu terpampang 17 gambar karya siswa SD, kerajinan burung dari lipatan kertas (origami), dan bundelan cerpen buatan anak kampung.

Tak ada denda

Dengan kondisi keuangan terbatas, Eko harus pindah tempat berkali-kali. Ia pernah menyewa tanah dan membangun gubuk bambu beratap asbes sebagai perpustakaan karena keterbatasan dana. Kendati begitu, ia bertekad tak memungut biaya pinjam buku kepada anggota ataupun denda jika buku tak dikembalikan.

Dia berusaha mencukupi kebutuhan operasional perpustakaan dari pendapatannya menjaga gerai pameran buku. ”Dana itu diperlukan untuk membeli alat tulis, fotokopi kartu anggota, dan perawatan buku,” ujarnya.

”Setidaknya, sebulan sekali saya menjaga stan di pameran. Hasilnya lumayan untuk mencukupi kebutuhan hidup dan operasional perpustakaan,” Eko menambahkan.

Jerih payahnya itu menuai hasil. Di pengujung 2011, perpustakaan yang saat itu berupa gubuk bambu dikunjungi Wakil Bupati Malang Ahmad Subhan dan mendapat sumbangan yang bisa digunakan untuk membeli tanah seluas 12 meter x 27 meter.

”Saya lega karena tak perlu lagi mengontrak tempat,” kata Eko yang mendapat sumbangan dari PT Amerta Indah Otsuka dan Yayasan Kick Andy untuk mendirikan bangunannya.

Bangunan itulah yang kini menjadi tempat beragam bacaan, mulai dari tabloid anak-anak, komik, novel remaja, novel terjemahan, buku detektif, sampai karya Pramoedya Ananta Toer.

Koleksi buku ditatanya di rak kayu. Eko mengelompokkan koleksi buku tanpa standar tertentu. Klasifikasinya sederhana, seperti Khusus Kutu Buku yang di dalamnya terdapat buku-buku berhalaman tebal dan kategori Sastra Berat berisi karya Pramoedya.

Jika dulu Eko bersusah payah menumbuhkan minat baca warga, kini ia bingung memuaskan hasrat membaca mereka. Apalagi ia pun menyuplai buku ke sejumlah daerah lain di luar Malang karena adanya permintaan.

”Saya baru ke Pulau Sapudi (Kabupaten Sumenep, Madura) mengantarkan tiga dus buku. Di sana anak- anak setempat haus bahan bacaan,” katanya.

Setelah berhasil mengembangkan Perpustakaan Anak Bangsa, kegiatan Eko tak terbatas pada menyalurkan buku. Ia juga aktif menjadi relawan penyalur kaki palsu dan kegiatan sosial lain. Sesekali ia diminta membantu warga dusun mengurus kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat.

Memberi memang ibarat candu. Kita tak bisa berhenti saat sudah memulai dan tak merasa miskin meski terus berbagi. Perjuangan Eko mengembangkan Perpustakaan Anak Bangsa tanpa pamrih pun membuahkan penghargaan.

Namun, yang membuat Eko senang, orangtua yang semula tak mendukung kini bangga. Bahkan, mereka meminta dia terus mengembangkan Perpustakaan Anak Bangsa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau