Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tetap Bersekolah walau Harus Menjadi Buruh

Kompas.com - 02/05/2013, 03:52 WIB

Tanto Purnomo (23), si sulung, lima tahun terakhir ini bekerja di sebuah bengkel di Samarinda, Kalimantan Timur. ”Mas Tanto tiap bulan kirim uang sekitar Rp 300.000, tetapi semuanya terpakai untuk bayar utang lama biaya berobat Bapak,” tutur Indah.

Saat ini, mereka masih berutang Rp 3 juta kepada pihak pemerintahan desa untuk sewa tanah bengkok tempat rumah mereka berdiri.

Kendati sebagian penduduk di Dusun Batur bekerja sebagai petani, kondisi keluarga Indah sangat memprihatinkan. Bilik bambu tempat mereka berteduh hanya berlantai tanah yang sangat lembab. Kamar mandi tidak ada. Penghuninya setiap hari mandi di sungai. Jika genteng rumah bocor, Indah dan ketiga adiknya hanya bertahan di sudut dipan sambil berpelukan, menghangatkan tubuh.

Keterbatasan ekonomi pula yang membuat Indah dan Supriyani beberapa kali putus sekolah. Namun, semangat belajar Indah dan kedua adiknya tak surut. ”Kalau bikin bulu mata, tidak perlu keluar rumah. Bahan-bahannya sudah dikasih. Nanti, dua hari sekali disetor ke pengepul di dekat sini juga,” ujar Indah.

Indah mengaku ikut bekerja di plasma bulu mata palsu karena diajak tetangganya yang prihatin terhadap kondisi keluarga itu. Di desa tersebut, sejumlah ibu rumah tangga menambah penghasilan dengan membuat bulu mata palsu. Produk itu kemudian dikumpulkan untuk dikirim ke pabrik-pabrik bulu mata palsu yang banyak berdiri di Purbalingga.

Setiap pasang bulu mata palsu dihargai Rp 170. Setiap bulannya, Indah dan dua adiknya bisa mendapatkan Rp 150.000 dari hasil membuat bulu mata palsu. Meski lebih sering habis untuk makan, Indah beberapa kali menyisihkan hasil kerjanya untuk tabungan sekolah.

Namun, dengan bekerja, bukan berarti Indah melupakan tanggung jawabnya sebagai pelajar. Ia dan adik-adiknya membatasi pekerjaan membuat bulu mata palsu hingga jelang magrib. Selepas itu, mereka belajar hingga larut malam.

Berprestasi

Dengan keterbatasan uang, asupan gizi ketiga pelajar ini sangat tidak memadai. Mereka bahkan tidak pernah sarapan sebelum sekolah. ”Seringnya hanya makan sekali. Paling nasi dengan sayur singkong, ” ujar Supriyani yang bercita-cita menjadi atlet tenis meja.

Walau begitu, mereka tetap berprestasi. Indah yang bercita-cita menjadi atlet bulu tangkis, misalnya, sejak awal SMP selalu menduduki peringkat 10 besar di kelas. Juliah bahkan meraih peringkat kelima di kelasnya, sementara Supriyani memiliki prestasi di bidang olahraga dan pernah mendapat beasiswa karena juara II tenis meja tingkat kabupaten.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com