Pergilah Lamkaruna, Raih Mimpimu Jadi Ulama...

Kompas.com - 07/05/2013, 12:12 WIB

KOMPAS.com - Banyak orangtua dan guru yang ingin anak dan anak didiknya melanjutkan studi dan menekuni karier yang sesuai dengan harapan mereka. Tanpa banyak bertanya dan mencari tahu, para orangtua dan guru, sengaja atau tidak, menjadikan anak sebagai sarana mewujudkan mimpi mereka.

Cahaya Ramadhani belajar bahwa guru memang datang untuk mendidik dan mendatangkan inspirasi bagi para anak didik. Namun, tidak serta merta 'seenak bujal menyumpalinya dengan mimpi-mimpi hebat–yang sebenarnya adalah impian guru seorang'.

Melalui Lamkaruna, siswa yang ditemuinya di SDN 7 Payabakong Aceh Utara melalui program Indonesia Mengajar, Cahaya belajar bahwa mengajar adalah memunculkan inspirasi kepada anak-anak didiknya untuk menemukan passion dan bakat mereka serta mendukung mereka untuk mengembangkannya.


"Merelakan Lamkaruna"

Namanya Muhammad Lamkaruna. Sebuah nama spesial bagi seorang bocah laki-laki berkepala telur yang menjadi murid cum sahabatku. Lamkaruna: lam, (dalam), karu (ribut), na (ada). Ada di dalam (ke) ribut (an). Maknanya, bocah ini hadir di dunia kala masa-masa konflik masih berkecamuk. Namanya amat menggambarkan suatu peristiwa besar yang pernah terjadi di tanah Aceh–yang masih terasa dampaknya hingga kini. Maka dari itu aku enggan memanggilnya dengan nama ‘Amat’ seperti teman-temannya yang lain. Selalu kuserukan ‘Lamkaruna’ padanya, biarpun itu menghabiskan satu-dua hela napas lebih banyak.

Relasiku dengan muridku yang duduk di kelas enam ini, tak ubahnya seperti kawan sebaya saja. Dia kerap menggodaku, melontarkan canda-candaan lucu, hingga akhirnya aku jadi gemas sendiri dan berakhir dengan adegan kejar-kejaran mengelilingi lapangan sekolah. Aku ibu guru, memang. Tapi mana bisa aku bersikap sok serius pada Lamkaruna yang tengil itu? Haha! Ah, dia juga salah satu–dari banyak sekali–sumber kebahagiaanku di tempat ini.

Pada diri Lamkaruna, diam-diam kusematkan berjuta harap besar. Secara natural, dia cerdas. Dalam akademik, ia cepat menangkap pelajaran IPA dan matematika. Dalam kepribadian, dia pun pintar membawa diri serta cakap dalam berkomunikasi lisan dan tulisan. Dalam hal seni, iapun cukup mumpuni. Suaranya merdu alami, gambarannya bisa dipuji, tariannya canggih sekali (ia bisa breakdance tanpa ada yang mengajari!!!). Semuanya bersumber dari rasa ingin tahunya yang tinggi. Ia mudah sekali penasaran dan tak takut mencoba. Dengan potensinya itu, tak payah aku membayangkan dirinya di masa depan menjadi seorang ilmuwan hebat, pembicara ulung, penyanyi andal, atau apapun. Iya, dia bisa menjadi apapun.

Tapi.....

Di suatu siang yang panas sepulang sekolah, di halaman rumah bersama beberapa murid yang sedang les matematika, Bu Yanah–ibu piaraku yang juga guru honorer di sekolah–tiba-tiba berkata:

‘Sayang tuh si Lamkaruna nggak mau lanjut SMP. Katanya dia mau masuk ke dayah aja.’

-------Petir menggelegar (di otak dan hati saya)---------

Saya: ‘HAH YANG BENER BU???’

Bu Yanah: ‘Iya, tadi dia bilang di kelas. Sayang ya, anaknya pinter padahal’.

------- Aku terkesiap. Tidak, ini tidak mungkin.

Oke, sebelumnya saya jelaskan dulu apa itu Dayah. Dayah adalah sebutan bagi pesantren di Aceh. Sebagai propinsi dengan kultur Islam yang kental, Dayah tersebar banyak di sini. Mulai dari Dayah tradisional di desa-desa (yang hanya mengajarkan agama) hingga Dayah modern terpadu (yang juga mengajarkan pelajaran seperti di sekolah umum). Memang hal yang biasa bagi para orang tua untuk mengirimkan anak-anaknya bersekolah di Dayah selepas sekolah dasar. Karena memang, masalah pendidikan agama Islam sangat dijunjung tinggi di tempat ini.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang


    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
    atau