Tapi ini Lamkaruna si cerdas itu! Akh....
Aku juga tidak mengerti kenapa aku bisa sekecewa itu. Tapi, memang aku kecewa. Sangat, amat. Bayangkan: bungkusan impian indah yang kubangun pada dirinya, tercabik seketika itu juga. Langsung kuputar otak dan mencanangkan berbagai aksi untuk menjegal rencana Lamkaruna masuk ke Dayah.
Pertama, kan kubuka cakrawalanya bahwa banyak sekali kesempatan yang terbuka untuk anak-anak secerdas dia. Akan ku ceritakan berbagai macam kisah keberhasilan sehingga dia termotivasi untuk menjalani jenjang pendidikan sesuai jalurnya. Kemudian aku akan menemui dan mempersuasi orangtuanya agar menyadari bahwa putranya adalah anak yang luar biasa sehingga pantas mendapatkan kesempatan yang lebih daripada yang direncanakan orang tuanya. Oh, dan akan kucarikan dia beasiswa sehingga orang tuanya tak perlu pusing memikirkan biaya sekolahnya.
Pokoknya banyak sekali strategi yang telah kususun untuk memenangkan Lamkaruna. Dan aku mantap: akan kulaksanakan itu dengan segenap keteguhan.
***
Tapi di lain hari lagi-lagi aku terkesiap. Namun ini berbeda. Terkesiapku ini melahirkan permenungan yang kemudian mengubah untaian rencana yang telah mantap tersusun. Apa pasal? Ini gara-gara sepucuk surat. Sepucuk surat sederhana yang ditulis oleh Lamkaruna sendiri.
Aku sedang menyortir sambil membaca tumpukan surat hasil karya anak-anak untuk projek sahabat pena yang akan kukirimkan ke berbagai tempat. Dan mataku langsung tertumbuk pada sebuah lembaran yang dihias dengan warna berani sehingga menarik perhatianku–itu surat karya Lamkaruna.
Sebenarnya apa yang dia ceritakan biasa saja. Tapi aku rasakan kalimat-kalimatnya begitu tulus. Entah dari belah mananya, tapi aku amat tertohok. Pada sahabat penanya yang ada di seberang pulau sana, Lamkaruna menulis seperti ini: ‘Kawan, cita-citamu apa? Kalau saya ingin menjadi ulama orang yang pintar’. Hanya begitu saja. Tapi kalimat itu jadi gong yang menghantam kesadaranku.
‘Memang apa yang salah dengan Dayah? Apa yang salah dengan menjadi ulama? Sepanjang itu semua adalah kemauannya, seharusnya aku mendukungnya. Ya, mungkin dia mampu untuk menjadi ilmuwan, dokter, dosen, bankir, apapun. Tapi apa memang itu yang ia mau? Bukankah aku sendiri pernah merasakan bagaimana menyebalkannya ketika mengerjakan sesuatu (yang walaupun kita mampu) tapi tak kita mau? Ah, seharusnya aku berbangga. Di kala jutaan orang dewasa masih menjalani hidup dengan bertanya apa passion mereka, dia–Lamkaruna ku–telah menemukannya dan mantap menjalaninya. Siapakah aku, yang bisa seenak bujal menyumpalinya dengan mimpi-mimpi hebat–yang sebenarnya adalah impianku seorang? Siapakah aku, yang bisa mengoyak cita-citanya yang amat mulia itu, hanya karena kupikir dia pantas mendapatkan sesuatu yang lebih? Tidak, aku tidak bisa dan tidak akan pernah tega.’
***
Maka nak, Lamkaruna ku, bocah tengil berkepala telurku, kan kuproyeksikan dirimu dalam kepalaku bahwa: seseorang yang akan berdiri di mimbar megah dengan jutaan umat yang mendengarkan setiap ucapannya dengan hikmat di masjid yang paling kesohor itu adalah dirimu. Dan kuyakin itu kan mewujud kelak dalam hidupmu.
Mencintai juga berarti merelakan. Maka, aku merelakan Lamkaruna.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.