Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akhirnya, Lebih Baik Hujan Batu di Negeri Sendiri....

Kompas.com - 01/07/2013, 17:51 WIB
Latief

Penulis

KOMPAS.com - Entah, kemana rasa nasionalisme itu. Audi Rahmantio jujur mengakui, selama hidup di Indonesia dirinya merasa tak pernah bangga menjadi orang Indonesia. Tiada habisnya persoalan sosial dan politik di tanah air membuatnya tidak punya kesempatan memiliki kebanggaan itu.

"Selama saya hidup 19 tahun di Indonesia, saya tidak pernah punya kesempatan sebegini bangganya menjadi orang Indonesia. Tapi, di sini, jauh dari Indonesia, saya diberikan kesempatan itu. Saya bangga menjadi orang Indonesia," ujar mahasiswa semester empat jurusan International Management di Ritsumeikan Asia Pacific University (APU), Beppu, Jepang, kepada Kompas.com, Jumat (28/6/2013) lalu.

Mahasiswa akrab disapa Audi ini menuturkan, sebelum dirinya berangkat ke Jepang untuk menimba ilmu di Ritsumeikan APU, dirinya sama sekali tidak peduli dengan budaya Indonesia. Bukan menutup diri, tapi ia mengaku benar-benar tak punya ketertarikan. Blank!

"Begitu tinggal di sini, kondisinya malah terbalik. Saya malah sangat ingin memperkenalkan budaya Indonesia ke teman-teman internasional saya di kampus ini. Saya memang kaget dengan antusiasme dan apresiasi mereka terhadap Indonesia," ujarnya.

M Latief/KOMPAS.com Pementasan drama kolosal Malin Kundang sebagai puncak acara Indonesia Week 2013 di kampus Ritsumeikan APU, Beppu, Jepang, JUmat (28/6/2013) malam.
Terutama sejak terlibat dalam Indonesia Week, sebuah event budaya di kampus tersebut, Audi mengaku semakin mengenal "negerinya sendiri". Karena dengan pekan budaya itulah, dia dan teman-teman Indonesia lainnya benar-benar mempromosikan budaya Indonesia, mulai dari makanan, tarian, hingga musik.

Selama sepekan berlangsungnya Indonesia Week 2013 itu, menu makanan di kafeteria atau kantin kampus ini dilengkapi menu masakan khas Indonesia. Bertema Ethnic Food, panitia menyuguhkan nasi goreng, siomay, dan batagor Bandung sebagai menu utama, serta lumpia dan kue cubit sebagai kudapan pendamping. Pokoknya, semua serba Indonesia!

"Ketika di negeri orang, betapa senangnya melihat orang dari bangsa lain makan sesuap nasi goreng atau seteguk kopi luwak. Saya merasa kembali tersentak, sadar bahwa Indonesia itu negara yang besar, sesuatu yang tidak saya rasakan ketika masih berada di Indonesia," timpal Albert Soetandar, mahasiswa semester lima jurusan International Management Ritsumeikan APU.

Menurut dia, masalah kemacetan, kriminalitas, polusi, korupsi dan sebagainya membuat dirinya "lupa" soal kebanggaan menjadi orang Indonesia. Ia lalu berniat pergi dan merasakan indahnya tinggal di negeri orang.

Tiga tahun lalu, tepatnya pada 2010, Albert pun masuk kuliah di Ritsumeikan APU, sebuah perguruan tinggi internasional di Beppu, Jepang. Di situlah pandangannya seketika berubah.

Terpencil dan egois

Lebih baik hujan batu di negeri sendiri dibandingkan hujan emas di negeri orang, begitu pepatah mengatakan. Rasanya, pepatah itulah yang tepat untuk menggambarkan perasaan para mahasiswa Indonesia yang tengah menimba ilmu di Ritsumeikan APU.

M Latief/KOMPAS.com Kondisi kampus APU yang berada di atas bukit di ketinggian 400 meter di atas permukaan laut, membuat mahasiswa jauh dari keramaian.
Kondisi kampus APU yang berada di atas bukit di ketinggian 400 meter di atas permukaan laut, membuat mereka jauh dari keramaian. Kampus ini benar-benar dikelilingi hutan dan perbukitan. Beruntungnya, kampus APU penuh kegiatan seru yang bisa membuat mereka mengenal budaya Indonesia dan mengenalkannya pada mahasiswa dari bangsa lain.

Pengakuan Robertus Dwiputra Darmawan ini, misalnya. Wakil Ketua Indonesia Week 2013 ini mengakui, menjadi orang Indonesia di sebuah kampus internasional tidak bisa "egois" untuk tidak mengenal budaya bangsanya sendiri, apalagi sampai tak bisa menunjukkannya pada bangsa lain.

"Saya pribadi merasa, hidup di tengah-tengah warga internasional di kampus ini kita perlu mengenalkan seni dan budaya Indonesia tanpa perlu harus merasa egois bahwa budaya Indonesia itu cuma milik kita, milik orang Indonesia sendiri," ujar Robertus.

M Latief/KOMPAS.com Penampilan Tari Kecak pada pementasan Malin Kundang di acara puncak Indonesia Week 2013 di kampus Ritsumeikan APU, Beppu, Jepang, Jumat (28/6/2013).
Robertus mengatakan, lewat penyelenggaraan Indonesia Week ini ia dan teman-temannya bisa "eksis" sebagai orang Indonesia yang bangga pada budayanya sendiri kendatipun hidup jauh di negeri seberang. Dari yang sama sekali tidak tahu soal pakaian daerah dan tarian daerah, ia penasaran untuk menggali banyak referensi.

"Apalagi ini kolaborasi seni pertunjukan, musik, dan tarian tradisional Indonesia yang melibatkan para mahasiswa internasional lainnya sebagai pemain dan penari. Kita sendiri yang melatih mereka (mahasiswa asing) yang terlibat di pergelaran ini," ujar Robertus.

"Dulu aku juga benar-benar tak terlalu peduli dengan budaya Indonesia. Rasanya biasa saja, kuno, katro. Ternyata, berada di sini (Jepang), banyak orang penasaran bertanya pada saya soal Indonesia, soal makanannya, tariannya. Ternyata, banyak yang senang dengan budaya kita. Dari situlah saya mencari tahu tentang budaya Indonesia, beli wayang waktu pulang ke Indonesia, dan berbagi cerita ke teman-teman internasional saya soal Indonesia," timpal Brenda Dayanara, mahasiswa semester dua jurusan APM di kampus tersebut.

Jiwa nasionalisme

Dahlan Nariman, Vice-Dean of Admissions, Associate Professor, Education Development and Learning Support Center (EDLSC) di Ritsumeikan Asia Pacific University/APU), Jepang, mengaku kondisi "terpencil" kampus APU sebenarnya berandil besar terhadap aktifnya kegiatan-kegiatan non-akademik untuk mahasiswa, seperti Indonesia Week. Bisa dikatakan, selama 24 jam sehari aktivitas di dalam kampus ini berlangsung tanpa henti, mulai kegiatan ringan sekadar kumpul-kumpul masak bersama, makan bersama, pertandingan olah raga antarnegara, sampai kegiatan klub-klub olah raga dan seni yang mencapai lebih dari 150 klub.
 
"Kegiatan formal dan informal ini berandil sangat besar dalam mengkondisikan mahasiswa dari berbagai negara itu ke dalam satu komunitas dalam hubungan satu sama lain yang sangat mencair," kata Dahlan.

Dia memaparkan, sekitar 40 persen dari 6.000 mahasiswa APU adalah orang asing non-Jepang. Mereka datang dari 81 negara. Tenaga pendidiknya juga datang dari 28 negara berbeda sehingga inilah yang menjadikan lingkungan APU sebagai "kampus internasional".

Menurut dia, beragam aktivitas akademik dan non-akademik itu, baik yang diciptakan secara sengaja atau tidak sengaja oleh pihak universitas, sebenarnya menjadi arena pembentukan jiwa lulusannya yang terdiri dari beragam bangsa. Terutama jiwa nasionalisme di saat mereka bersiap menjadi warga dunia; sebagai warga internasional.

"Memang, banyak pihak khawatir, jika kita banyak berhubungan dengan orang asing berbeda budaya, identitas kita semakin nyaris hilang tak berbekas. Namun, berdasarkan pengalaman saya di APU, jawabannya tergantung diri kita masing-masing. Jika ingin larut, memang gampang sekali identitas diri kita hilang larut dalam budaya lain," kata Dahlan.

Tahun ini, kembali melalui Indonesia Week 2013, terbukti, para mahasiswa Indonesia terbukti cakap mengemas budaya Indonesia. Indonesia Week menjadi identitas yang mudah diakui di "kampung internasional" tersebut.

"Buktinya, tiap kali puncak acara digelar, yang selalu dinantikan orang dari berbagai negara di sini adalah indahnya gerakan Tari Saman. Anak-anak itu (mahasiswa Indonesia), telah menjadikan Tari Saman sebagai trade mark wakil budaya Indonesia di APU, yang selalu mengundang decak kagum masyarakat global di kampus ini," ujar Dahlan.

M Latief/KOMPAS.com Penampilan Tari Saman pada pementasan Malin Kundang di Ritsumeikan APU, Jumat (28/6/2013) malam.
Belajar dari peristiwa ini, dalam globalisasi penggalian identitas diri dan apa yang dimiliki para mahasiswa Indonesia itu sangat penting dalam berbagai sektor apapun. Tetapi, diperlukan kerja keras tanpa henti, untuk menggali, mengemas dan melakukan berbagai percobaan agar bisa diterima, laku dan mendapat antusisme di arena global.

"Setidaknya, mereka sudah membuktikannya. Mereka berhasil dan bangga menjadi orang Indonesia, meskipun jauh dari tanah airnya," ucap Dahlan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Lengkapi Profil
    Lengkapi Profil

    Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com