Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Awas... Gempa Skala Liter!"

Kompas.com - 12/07/2013, 14:04 WIB

Di sisi lain, bisa jadi, mereka memang kebablasan dan tidak tahu sehingga menjadi biasa untuk tidak tahu. Anak-anak ini mengabaikan bahasanya sendiri, yang sadar atau tidak adalah identitas bangsanya.

Gambarannya memang menjadi ironis, walau keironisan semakin menjadi biasa sekarang ini, seperti ketika membandingkan anak-anak dan penulis sokbleker juga ciken-cikenan tadi dengan warga asing yang datang ke sini, belajar bahasa di sini, bahasa Indonesia yang baik dan benar, supaya bisa bekerja di sini atau membangun usaha di sini bahkan memuluskan usaha besar di sini.

Sama-sama belajar

Terus terang, rasanya egois ketika orang-orang dewasa yang sadar bahasa lalu meminta anak-anak tadi menyamakan sudut padang dengan kita. Adilkah?

Di zaman yang apa-apanya serba-cepat ini, sesuatu yang baku menurut kita, yang diajarkan pada kita di masa lalu dan terus dipegang dan dijadikan tolok ukur hingga kini, tentu menjadi sesuatu nan menyulitkan dalam perkembangan mereka jika mereka juga harus memahaminya.

Tak heran, sering dikabarkan siswa pusing bukan kepayang saat ujian Bahasa Indonesia. Contohnya bisa dilihat di sini: "Pelajaran Bahasa Indonesia Memang Susah".

Mau berbahasa Indonesia yang baik dan benar, tentu kita harus cinta dulu supaya tidak setengah-setengah. Nah, bagaimana caranya? Melarang anak menulis "q seneng bnget ma lgu ini"? Rasanya, asalkan dia tahu mana yang benar, kenapa harus repot melarangnya dan malah berujung debat panjang dan justru menjadikan kita orang dewasa yang otoriter.

Sebenarnya, cukup saja dengan memberi tahu mana yang benar. Atau kalau memang si anak suka menulis di blog, kenapa tidak sama-sama ngeblog juga.

Jangan lupa, perlu sabar-sabar juga dan mengutamakan agar ilmu yang mau disampaikan bisa dipahami, bukan perintah belajar, belajar, dan belajar melulu, yang malah membuat anak takut dengan belajar. Lagi pula, otak manusia kemungkinan masih berkembang dan selalu butuh waktu dalam menyerap sesuatu, seperti dilansir di Otak Manusia Berkembang sampai 40 Tahun.

Soal referensi bahasa, Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan menyediakan situs KBBI online (http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/). Membaca surat kabar cetak dan online pun bisa menjadi bahan pembelajaran, walau mesti juga tetap kritis karena istilah-istilah tertentu kadang berbeda antara satu media massa dan media yang lainnya. Ini di luar kesalahan ketik tentunya.

Nah, bagaimana bahasa Indonesia menjadi lebih hidup dan disukai, terlebih lagi digunakan dengan baik? Ini tidak terlepas juga dari peran para praktisi dan ahlinya. Doa saya, mereka yang ahli bahasa tidak hanya berkutat di kampus. Mahasiswa-mahasiswanya pun boleh juga turun ke lapangan berbagi ilmu yang belum tentu bisa dengan mudah dibeli, apalagi oleh mereka yang berada di kalangan ekonomi menengah ke bawah.

Mudah-mudahan, ini bisa jadi panggilan. Sebuah panggilan, demi mengantisipasi "gempa skala liter" susulan....

(Penulis adalah penyelaras bahasa di Kompas.com)

“Bergabunglah dengan komunitas kelas dunia: www.binus.ac.id

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com