PAUD yang ideal tidak hanya mendidik anak, tetapi juga mengasuh dan merawat anak dengan baik. Untuk itu harus ada kerjasama yang baik antara pendidik PAUD dengan orang tua. Sekarang banyak ibu yang bekerja, karena itu kebutuhan akan taman penitipan anak (TPA) sudah makin dirasakan. Layanan di TPA bisa dimulai dari bayi, tetapi pada umumnya (kebanyakan) setelah anak bisa berjalan. Nah, layanan anak usia dini seperti ini harus diimbangi dengan pemahaman yang baik dari para pendidik dan pengasuh tentang hal-hal yang terkait dengan tumbuh-kembang anak dan pemberian stimulasi pendidikan yang tepat.
Untuk stimulasi atau rangsangan pendidikan tersebut, khususnya pada usia-usia awal, hendaknya melibatkan semua indera sesuai tahapan tumbuh-kembang anak. Dengar, lihat, tiru, coba, ulang, dan tuntas merupakan bagian penting dari stimulasi pendidikan pada anak usia dini.
Stimulasi pendidikan juga harus memberikan peluang untuk berkembangnya semua potensi kecerdasan anak, seperti: kecerdasan di bidang spiritual (untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul), emosional dan sosial (untuk meningkatkan sensitivitas dan apresiasivitas akan kehalusan dan keindahan seni dan budaya), intelektual (untuk meningkatkan kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, serta aktualisasi insan intelektual yang kritis, kreatif dan imajinatif), dan kinestetis (untuk mewujudkan insan yang sehat, bugar, berdayatahan, sigap, terampil, dan trengginas). Kemudian perlu juga disediakan layanan pendidikan berkualitas, yang didukung dengan kemampuan guru/pendidik dan pengasuh yang bisa memperhatikan tumbuh-kembang anak secara utuh.
Anak usia dini tidak dibenarkan diajar seperti pada anak tingkat sekolah dasar (SD). Mereka hanya diperbolehkan bermain sambil belajar.
Bermain sebenarnya adalah kegiatan yang “serius” bagi anak . Bermain adalah tonggak perkembangan motorik, psikomotorik, afeksi, dan sosial. Melalui bermain dan alat permainannya, anak juga belajar mengenali diri dan dunia sekitarnya melalui eksplorasi dan meneliti berbagai hal yang dilihat, didengarkan dan dirasakannya.
Bermain juga membuat anak mampu berimajinasi dan berempati. Selain itu, bermain juga merupakan media bagi anak untuk meneguhkan identitas dirinya dalam relasi sosial.
Bermain sambil belajar juga merupakan jembatan bagi anak untuk memahami konsep atau simbol-simbol. Misalnya, dalam menangkap simbol-simbol, mereka harus belajar dari yang riil dahulu sambil bermain. Anak perlu mengalami, mencoba, dan akhirnya menyimpulkan dalam suasana yang menggembirakan. Jika kondisi tidak memungkinkan untuk belajar sambil bermain dalam alam nyata, bisa melalui simulasi dengan bantuan alat permainan edukatif (APE), melalui film, video atau gambar.
Pada saat anak “lulus” PAUD dan akan melanjutkan ke jenjang SD, pihak SD tidak dibenarkan melakukan tes membaca, menulis, dan berhitung (calistung) padanya. Hal itu karena pada dasarnya PAUD memang tidak memberikan pelajaran calistung. Sekalipun dengan pendekatan bermain sambil belajar, memungkinkan anak bisa calistung.
Usia dini merupakan masa pembentukan dasar-dasar kepribadian seseorang. Kepribadian yang terbentuk saat usia dini akan menjadi karakter yang sulit diubah hingga masa dewasanya. Pembentukan kepribadian membutuhkan waktu yang lama melalui pembiasaan-pembiasaan serta proses imitasi dari lingkungannya. Media yang paling efektif adalah memberi kepercayaan, menyemangati, dan modeling (keteladanan).
Anak juga perlu dirangsang sejak dini untuk perkembangan otak dan fisiknya melalui kegiatan-kegiatan seperti mendongeng, menyanyi, melukis/menggambar, menari, dan berolah raga. Bila kegiatan-kegiatan tersebut dipersiapkan dengan baik dapat dijadikan sebagai wahana untuk merangsang perkembangan otak (otak kanan dan kiri) dan fisik anak dengan baik. Dalam melakukan kegiatan seperti itu sebaiknya ada penghargaan kepada setiap anak, misalnya pujian.
Tetapi, perlu diingat, pujian juga harus yang sewajarnya. Yang perlu diingat, jangan sampai ada celaan atau sejenisnya yang bisa membunuh semangat dan kreativitas anak. Andaikan ada anak yang belum berhasil melakukan dengan baik, jangan sampai ada anak yang dilukai hatinya.
Semua anak sebaiknya mendapatkan penghargaan sesuai porsinya. Doronglah anak untuk selalu berani maju melalui cara bermain sambil belajar. Jika pendidik menginginkan sesuatu kepada anak, jangan memaksakan. Sebaiknya, dikondisikan sedemikian rupa, sehingga akhirnya anak mau melakukan atau berbuat sesuatu karena merasa tertantang atau terdorong hatinya. Ini semua bisa dilakukan apabila dikemas dalam suasana sambil bermain.
Anak juga memiliki kecenderungan untuk meniru apa yang dilakukan oleh guru/pendidiknya. Karena itu kebiasaan-kebiasaan yang baik, lebih baik dicontohkan melalui keteladanan pendidik/guru/orang tua. Misalnya, kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, kebiasaan antre, dan kerjasama (gotong-royong), lebih baik dicontohkan oleh pendidik/guru dan juga orang tua.
Anak juga perlu diberi stimulus untuk berimajinasi terhadap konsep-konsep abstrak seperti tanggung jawab, bekerja sama, sayang kepada sesama, tenggang rasa, disiplin, jujur, percaya diri, dan lain sebagainya. Mengajak anak untuk bersama-sama mengamati ‘luwing’ atau kaki seribu yang sedang berjalan, mengamati serombongan semut yang sedang berjalan atau bekerjasama membawa makanan yang ukurannya lebih besar dari badan semut, dan mengamati induk ayam yang baru mengerami telur-telurnya, merupakan contoh-contoh yang sangat baik untuk menjelaskan kepada anak tentang konsep koordinasi, kerjasama, dan disiplin yang apabila diceritakan dengan menarik akan diingat anak seumur hidupnya.
Itulah yang menjadi fondasi pendidikan untuk menyiapkan generasi emas Indonesia. Jadi, anak usia dini tidak harus bisa calistung, tetapi yang terpenting dirangsang semua potensi kecerdasan, emosi dan fisiknya sesuai tahap pertumbuhan dan perkembangannya melalui pendekatan bermain sambil belajar. Semua proses tersebut harus melibatkan orang tua.