Kurikulum 2013 yang gelojoh kerohanian akan mematikan fungsi kritis dan logika nalar individu. Matinya daya kritis akan semakin mudah menyemai benih kekerasan atas nama agama dan perbedaan melalui proses indoktrinasi terstruktur. Gejala ini sudah kita lihat terjadi di masyarakat. Masyarakat kita gemar menghunus pedang dan menghancurkan mereka yang berbeda atas nama agama!
Berpikir kritis muncul apabila logika bertumbuh. Logika bertumbuh apabila siswa diajak berpikir lurus dan benar melalui ketaatan pada alur pikir. Dalam pembelajaran Matematika, yang paling penting adalah keteguhan sikap. Siswa diajak mempertahankan
pendapatnya apabila ia yakin pendapatnya benar, dan berani mengubahnya apabila keliru.
Inilah nilai integritas yang diperoleh dari belajar Matematika. Pembelajaran Matematika yang benar menghasilkan individu yang kritis, terbuka, dan berintegritas. Tak mengherankan apabila panitia PISA menyimpulkan: penguasaan pengetahuan Matematika menjadi dasar meningkatnya peringkat pendidikan di beberapa negara.
Bangsa ini sudah kehilangan logika nalar, cenderung berpikir separatis, dan eksklusif. Cara berpikir kebangsaan yang terbuka dan kritis semakin jauh dari lingkungan pendidikan dan pembelajaran kita. Bhinneka Tunggal Ika hanya menjadi sekadar pita yang tertempel di suvenir Garuda. Kita sibuk mengurusi tampilan luar, mengatur model baju, seragam sekolah, dan lain-lain, tetapi lupa bahwa pengalaman belajarlah yang paling penting harus terjadi di sekolah.
Menjadi juara sebagai siswa paling bahagia berada di sekolah dan bersahabat mestinya tak membuat kita senang. Kita harus lihat bahwa tetap bertenggernya Indonesia di barisan paling belakang di antara para siswa lain menunjukkan betapa pengalaman belajar itu tidak terjadi di sekolah-sekolah kita. Spiritualisme pendidikan yang dangkal akan menjadi beban bagi bangsa ini untuk naik kelas dalam peringkat PISA.
Doni Koesoema A, Pemerhati Pendidikan