Ya, Habibie tidak berhenti hanya sampai titik kagum betapa bangsa Jerman sangat maju dalam bidang rekayasa engineering. Namun, Habibie masuk "ke dalam" penalaran lebih dalam bagaimana keadidayaan tersebut bisa membangkitkan Indonesia.
Konsep persatuan kesatuan bangsa melalui pengembangan commuter aircraft yang akan menjadi jembatan udara Nusantara bukanlah konsep yang dilahirkan dalam semalam. Itulah "tafakur" Habibie selama hampir 20 tahun di Eropa. Itulah "eureka" seorang Habibie!
Satu kali, ada hal yang menggetarkan saat berkunjung ke Erasmus University pada Maret lalu, yaitu pada saat ditunjukkan sebuah gedung megah terbaru di kampus modern tersebut. Itulah satu-satunya gedung di kompleks kampus Erasmus yang diberi nama khusus, sedangkan gedung-gedung lain dinamakan hanya berdasarkan alfabet: gedung A, gedung B, dan seterusnya. Ya, gedung megah itu dinamai dengan Hatta!
Bayangkan, betapa luar biasanya pemuda asal Bukittinggi itu! Bahkan, negeri yang pernah menjajah pun masih mau memberikan salut sempurna dan penghormatan sangat tinggi karena bangga bahwa di kampus inilah seorang Hatta menemukan mutiara pemikiran ekonomi Indonesia, yang akhirnya menjadi sebuah legacy.
Memang, proses penemuan hakikat ilmu itu sering kali terjadi justru pada saat seseorang jauh dari "zona kenyamanan", jauh dari kampung halaman, atau keluarga. Di situlah, daya juang yang lebih dibutuhkan.
Banyak mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda pada saat ini bercerita, bahwa justru di sanalah mereka menemukan "jati diri indonesia" melalui bidang keilmuan yang mereka pelajari. Seorang pelajar yang kini menjadi salah satu anggota tim penasihat ekonomi pimpinan nasional mengatakan, justru di Belanda itulah dia baru ngeh dan memahami hakikat konsep perekonomian Indonesia yang disemai oleh Hatta pada zaman dahulu. Barulah dia sadar, mengapa kebijakan ekonomi Indonesia banyak yang tidak "jalan".
Menurutnya, saat ini kita sudah terdeviasi terlalu banyak dari akar konsep ekonomi kita. Dia bertekad, dengan posisi strategis yang dimilikinya sekarang, dia akan mengembalikan ekonomi kita ke arah yang telah ditunjukkan oleh Hatta pada awal berdirinya Republik ini.
Proses pembelajaran yang benar seyogianya bukan menghasilkan manusia-manusia yang hanya bisa menimba dan mengerti ilmu, melainkan juga manusia yang bisa memancarkan ilmu itu dan meninggalkan legacy bagi generasi selanjutnya.
Lagi-lagi, ini adalah tantangan buat arah dan kebijakan Pendidikan Nasional kita. Apakah kurikulum diknas kita sudah berorientasi ke arah menghasilkan manusia Indonesia yang mampu berpikir dan bernalar jauh masuk ke inti keilmuan? Ya, sehingga apa yang didapat dari ilmu tersebut bukan hanya keilmuan yang "kasatmata", melainkan juga hakikat ilmu sendiri.
Apakah para guru dan pendidik itu dididik untuk mempunyai paradigma yang berorientasi pada pencapaian hakikat ilmu? Apakah para orangtua mengarahkan anak-anaknya untuk tidak saja mencari ilmu, tetapi juga memancarkan ilmu?
Masih banyak di antara kita yang sudah merasa cukup puas jika kita diterima di perguruan tinggi yang terkenal dan favorit, atau jika sudah mendapat beasiswa atau diterima sebagai PNS atau pegawai multinational company, atau sudah menggapai gelar S-3. Buat kita, itulah pencapaian tertinggi dan titik akhir dari suatu perjuangan.
Rasanya, sudah saatnya kita megubah cara pandang yang sangat berorientasi jangka pendek itu.
Soewardi Suryaningrat, Hatta, Habibie, serta Gus Dur telah berhasil membangkitkan negeri ini setelah proses pencarian panjang di negeri seberang. Seharusnya, dengan semakin tingginya tingkat mobilitas pelajar Indonesia belajar di luar negeri, akan lebih banyak lagi "sinyal kebangkitan" yang dapat dikirimkan ke Republik ini. Janganlah keberadaan kita di luar negeri hanya habis terbuang untuk mengagumi negeri tempat kita belajar, dan sebaliknya mencemooh kekurangan bangsa sendiri.
Sejatinya, pencapaian tertinggi seorang pembelajar adalah pada saat ilmu yang didapatnya itu bisa mencerahkan, menggugah, menginspirasi, dan membangkitkan. Itulah ilmu yang mumpuni, yang diraih oleh Ki Hajar Dewantara, Hatta, Habibie, serta Gus Dur. Ilmu yang memampukan seseorang untuk meninggalkan legacy.
Pada 2045 nanti, saat kita merayakan 100 tahun Indonesia merdeka, mungkin kata-kata Soewardi Suryaningrat masih relevan disuarakan oleh para pemuda pada masa nanti: “Als ik eens Nederlander was……… Kalau Saya seorang Belanda…… Saya akan bangga menjadi bagian dari sejarah bangsa besar ini untuk bangkit dari keterpurukannya, menemukan jati dirinya dan menggapai kemuliaan”. Selamat Hari Kebangkitan Nasional!
(Penulis adalah pemerhati pendidikan dan bergiat sebagai koordinator tim beasiswa pada Netherlands Education Support Office)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.