Permasalahan dunia pendidikan sedikit banyak berkorelasi ”sebab-akibat” dengan masalah perkotaan. Kasus terakhir yang paling miris adalah kekerasan seksual terhadap murid TK di Jakarta International School (JIS). Ada apa gerangan?
”Dunia pendidikan kita tidak punya konsep. Ibaratnya, negara ini mau dibawa ke satu titik tertentu, tetapi dunia pendidikan kita justru mengarah ke titik yang lain,” kata pendiri sekaligus pemilik Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) Muhammad Syahrial Yusuf (51), Rabu.
Saat berbincang di kantornya di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu siang itu, Syahrial jelas begitu gundah dan geram akan nasib pendidikan di Indonesia. Namun, Syahrial tidak mau berlarut dalam keputusasaan. Sarjana ekonomi dari Universitas Padjadjaran, Bandung, dan peraih gelar Master of Business Administration, University of Amsterdam, Belanda, ini menyadari satu hal yang tidak banyak dilihat orang lain.
Syahrial melihat lulusan sarjana di negeri ini sebagian besar tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan dunia kerja. Pada 1989, ia merintis berdirinya LP3I yang sebenarnya sebuah lembaga kursus. Lembaga pendidikan luar sekolah ini bertujuan memberi bekal keterampilan, yaitu penguasaan bahasa Inggris, komputer, akuntansi, dan perpajakan. Kompetensi yang mumpuni di bidang itu belum tentu diperoleh di sekolah, sementara dunia kerja amat membutuhkannya.
Setelah 25 tahun berkiprah, LP3I kini memiliki 51 cabang di seluruh Indonesia dengan jumlah mahasiswa lebih dari 20.000 orang. Biaya kuliah relatif ringan untuk masyarakat kelas menengah, yaitu hanya Rp 16 juta sampai lulus.
Lembaga yang berkantor pusta di kawasan Kramat, Jakarta Pusat, ini telah bekerja sama dengan banyak perusahaan. Lulusannya 98 persen terserap di dunia kerja.
”Di awal kami merintis LP3I, demi meraih kepercayaan perusahaan mitra, kami para dosen mengantar anak didik kami ke perusahaan untuk ikut tes. Pernah lho, staf saya yang dosen dikira sopir,” kata Syahrial sembari tertawa berderai.
Sudah dua tahun terakhir, LP3I membuka jurusan baru, yaitu khusus mengajarkan dan mendidik mahasiswa menjadi wirausaha. Alasannya, banyak peluang bisnis yang bisa dikembangkan tetapi orang-orang berjiwa entrepreneur masih sedikit. Padahal, untuk kota-kota besar seperti Jakarta, seharusnya wirausaha bisa menjadi andalan untuk berkarier di tengah persaingan ketat di dunia kerja.
Terkait persoalan masyarakat urban yang pelik, seperti pengangguran, tawuran, hingga tenaga kerja informal dengan upah amat minim, lagi-lagi Syahrial melihat hal ini terjadi karena instansi yang mengurusi pendidikan tidak memiliki target yang jelas didukung strategi untuk meraihnya.
Tengok saja di belakang kompleks LP3I di Kramat Raya yang bersinggungan dengan daerah langganan tawuran, yaitu kawasan Johar Baru dan sekitarnya. Di sana, anak-anak usia sekolah luntang-lantung tidak jelas. Padahal, sudah ada program pendidikan gratis hingga 9 tahun. Ada pula Kartu Jakarta Pintar untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak. Sejatinya, dengan sumber daya pemerintah hingga tingkat RT/RW, kasus-kasus anak tak sekolah bisa dicegah.
Kekerasan
Bagaimana pandangan kalangan guru terhadap kekerasan yang melanda anak-remaja? Pandangan Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), kiranya menggugah pikiran kita.
Di mata aktivis guru ini, kekerasan anak-remaja sekarang merupakan cerminan kondisi pendidikan di sekolah. Retno menilai kekerasan masih terpelihara secara struktural dan sistemik dari jajaran birokrasi hingga di kalangan pendidikan.
Tawuran siswa antarsekolah di Jakarta yang tak pernah surut, kekerasan seksual terhadap murid TK di JIS, hingga penganiayaan oleh senior terhadap yunior adalah hasil budaya kekerasan yang tumbuh subur di dalam sekolah. Anak-anak menjadi pelaku sekaligus korban dari sistem pendidikan yang abai terhadap bahaya kekerasan.
Retno menunjuk contoh sederhana, tawuran siswa di antara dua SMA bertetangga di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, yang terjadi bertahun-tahun tak lepas dari peran pendidik dan birokrasi di kedua sekolah itu. Mereka enggan memutus mata rantai kekerasan di dua sekolah itu. Dugaan guru-guru di sekolah itu turut terlibat, kata Retno, sangat kuat. Guru-guru senior atas nama baik sekolah ingin melindungi para siswa pelaku kekerasan.