Mentalitas dan sikap ilmiah
Studi tentang sejarah ilmu pengetahuan pernah dilakukan filsuf Alfred North Whitehead dan dikemukakan dalam serangkaian kuliah di Universitas Harvard pada paruh pertama 1920-an dan kemudian diterbitkan sebagai buku Science and The Modern World. Sebuah tesis yang dipertahankannya dengan berbagai bukti historis ialah bahwa pembentukan mentalitas dan sikap ilmiah sering kali lebih penting dan lebih mendorong kemajuan dibandingkan kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Hadirnya teknologi di suatu negara tak dengan sendirinya menunjukkan kemajuan negara itu dalam ilmu dan teknologi, karena produk teknologi selalu bisa dibeli. Suatu negara dapat dikatakan maju kalau dapat memproduksi teknologi itu, bahkan menemukan jalan memproduksi teknologi baru.
Lukisan perkembangan ilmu dan teknologi di Eropa oleh AN Whitehead dapat mengilustrasikan hal ini. Entakan besar dalam ilmu pengetahuan alam dan humaniora terjadi di berbagai negara Eropa pada abad XVII yang disebutnya abad para genius. Dalam kesusastraan ada Miguel de Cervantes di Spanyol yang menulis Don Quixote; di Inggris berkibar Shakespeare yang memberi watak kepada sastra dan bahasa Inggris. Keduanya wafat pada 27 April 1616. Dalam filsafat muncul Descartes di Perancis, Francis Bacon dan John Locke di Inggris, Baruch Spinoza di Belanda, dan Leibniz di Jerman. Dalam fisika berderet nama, seperti Newton di Inggris, Robert Boyle di Irlandia, dan Huygens di Belanda. Dalam astronomi kita kenal Galileo Galilei di Italia dan Johannes Kepler di Jerman. Dalam matematika ada Blaise Pascal di Perancis dan dalam biologi ada William Harvey di Inggris yang menemukan sistem peredaran darah kita.
Nama-nama ini hanya sebagian kecil dari daftar panjang para genius yang berkarya abad XVII. Para ahli sejarah ilmu pengetahuan masih meneliti mengapa lahir demikian banyak genius pada masa ini. Menurut Bertrand Russel yang menulis buku sejarah filsafat Barat yang banyak dipuji, abad XVI adalah abad yang mengalami kegersangan filsafat karena peperangan antaragama. Perang Tiga Puluh Tahun antara pihak Katolik dan Protestan, akhirnya menimbulkan anggapan bahwa kesatuan dalam dogma agama yang diidamkan dalam Abad Pertengahan sudah tak mungkin tercapai lagi. Setiap orang sebaiknya berpikir sendiri untuk dirinya, juga mengenai soal-soal fundamental. Hasrat untuk kebebasan berpikir dan keengganan kepada soal-soal teologis lambat laun melahirkan kegairahan baru untuk hal-hal sekuler, yang bermuara kepada ilmu pengetahuan. Mentalitas baru inilah yang melahirkan para genius.