Menyemai Budaya Riset yang Makin "Berdebu"...

Kompas.com - 26/12/2015, 08:03 WIB
Oleh Indy Hardono

KOMPAS.com - Bukan rahasia lagi, bahwa banyak lembaga riset, mulai di tingkat nasional atau pusat penelitian dan pengembangan yang dimiliki hampir semua kementerian menjadi sekadar lembaga pelengkap. Bahkan, kalau boleh dibilang lembaga itu dibiarkan "berdebu" saking jarangnya dimanfaatkan, apalagi dioptimalkan oleh "yang punya".

Tak hanya itu. Muncul persepsi kuat, bahwa siapapun yang ditempatkan di bagian penelitian seakan-akan "dibuang" atau masuk golongan "orang buangan". Istilah penelitian dan pengembangan atau litbang pun kerap diplesetkan menjadi kependekan "sulit berkembang".

Maka, tak perlu heran, jika baru-baru ini sebuah keputusan menteri soal transportasi umum berbasis aplikasi hanya berumur kurang dari 24 jam, sebelum akhirnya dibatalkan akibat tuntutan publik. Tanpa memasukkan faktor lain, yaitu riset, yang konon menjadi pencetus pembatalan tersebut, mestinya tidak ada ribut-ribut dituntut batal oleh publik.

Ya, jika saja keputusan yang dikeluarkan atas dasar riset kuat, paling tidak riset hasil kajian badan litbang kementerian bersangkutan, tentu sang menteri dapat mempertahankannya. Tak semudah itu pendapat dan keputusannya dipatahkan, apalagi sampai dibatalkan.

Bisa dilihat, banyak kebijakan pemerintah, baik itu di tingkat pusat maupun daerah, bukan  datang dari sebuah research-based policy. Banyak keputusan diambil secara impulsif, yaitu berdasarkan masukan dan diskusi sesaat dengan pihak-pihak yang "dekat" dengan pengambil keputusan. Keputusan itu tak ubahnya seperti pembicaraan ringan di warung kopi. Ya, ngobrol di warung kopi!

Ironisnya, banyak institusi lebih senang mengambil jalan pintas dengan membeli hasil riset dari luar negeri dibandingkan memanfaatkan hasil penelitian dari badan risetnya sendiri.

Jiwa pendidikan

Riset bahkan belum menjadi budaya kuat di kalangan dosen atau pengajar di perguruan tinggi. Hanya sedikit dosen yang benar-benar tertarik menggeluti dan memiliki passion di dunia penelitian. Kebanyakan hanya fokus pada pengajaran di kelas.

Tak heran, hingga saat ini tak satupun perguruan tinggi riset di Indonesia yang masuk peringkat 100 sampai 200 besar dunia. Tak bukan, karena kita sudah terlalu "kedodoran" dalam hal produktifitas dan efektifitas riset dikarenakan hampir 60 persen indikator penilaian berhubungan dengan kedua faktor tersebut.

Akibatnya, virus dan jiwa meneliti otomatis tidak tertularkan. Buktinya, banyak mahasiswa yang tugas akhirnya sangat dangkal dasar risetnya, yang kadang sekedar copy paste dari berbagai sumber.

Tak hanya itu. Banyak juga mahasiswa Indonesia pada saat kuliah di luar negeri kewalahan karena dituntut menjadikan riset sebagai titik awal dari semua tugas yang diberikan dosennya. mulai tugas harian, mingguan, sampai penulisan tugas akhir. Mereka kurang terdidik untuk mencintai dan bergantung pada riset.

Saat ini, total jumlah semua karya ilmiah yang dihasilkan seluruh perguruan tinggi di Indonesia kurang lebih mencapai 3.000. Hanya sekitar 10.000 yang berindeks Scopus.

Scopus semacam lembaga akreditasi jurnal ilmiah. Jika sebuah jurnal sudah diindeks di dalam Scopus, otomatis jurnal itu sudah memenuhi standar publikasi ilmiah internasional.

Sebagai bandingan, satu perguruan tinggi, misalnya University Sains Malaysia, menghasilkan 15.000 karya ilmiahnya dan sudah diindeks pada Scopus. Catat, hanya dari satu universitas!

Budaya Riset

Saat ini, ketika banyak negara maju menjadikan riset sebagai tulang punggung, menjadi sebuah driving force dari kemajuan pembangunannya, di Indonesia riset masih dianggap sebagai area kurang menarik. Riset terdengar kurang "seksi"!

Ya, profesi peneliti seringkali dianggap sebagai profesi tidak menjanjikan dibandingkan profesi lain, misalnya dokter, banker, atau artis sinetron. Sudah terbukti!

Sejatinya, budaya riset sudah diperkenalkan sejak pendidikan dasar. Riset adalah awal dari proses penyelesain suatu masalah. Flavour riset yang lebih "medok" dalam kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seharusnya lebih terasa sejak pendidikan dasar, dan tentunya dibarengi oleh kompetensi dan passion pendidik terhadap riset.

Tentunya, jika hal itu bisa diwujudkan, otomatis muaranya adalah produktitas riset di level pendidikan tinggi. Hasil riset yang linked dengan industri pun pada akhirya bisa membawa manfaat bagi masyarakat.

Bukan tanpa alasan perusahaan sekaliber Philips di Belanda menjalin kemitraan strategis  dengan perguruan tinggi. Sebutlah misalnya, mana mungkin Philips mau menggandeng kerjasama dengan Technische Universiteit Eindhoven (TUE) dalam bidang inovasi digital, jika universitas itu tak punya budaya riset kuat.

Kemitraan itu memberikan ruang seluas-luasnya bagi sekitar 200 peneliti, profesor, calon doktor dan mahasiswa untuk menguji dan menjadikan kemitraan tersebut sebagai suatu living lab untuk kepentingan pendidikan dan juga percepatan adopsi hasil riset mereka di bidang kesehatan, dan penerangan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Contoh nyata, hasil riset tidak hanya berakhir di perpustakaan saja!

Tanggung jawab siapa?

Sebenarnya, sebuah riset tidak perlu mahal. Yang penting, riset harus berkesinambungan dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sehingga bisa bermanfaat.

Namun, tidak dapat dipungkiri, bahwa anggaran riset nasional kita yang hanya 0.09 persen dari produk domestik bruto (PDB) jauh lebih rendah dibandingkan negara tetangga. Sebutlah Singapura dan Malaysia, yang anggaran risetnya sudah di atas 1 persen dai PDB.

Idealnya, memang dana dari pemerintah tidak menjadi satu-satunya sumber. Kasus TU Eindhoven dan Philips di atas menunjukkan betapa pihak industri rela berinvestasi mengucurkan dana riset besar karena tingkat kepercayaan tinggi terhadap kualitas riset  perguruan tinggi. Inilah kondisi ideal, dimana riset menjadi kebutuhan dan tanggung jawab semua pemegang kepentingan.

Ya, karenanya percepatan produktiftas riset bukan saja dengan menaikkan anggaran riset nasional, tapi juga reorientasi arah pendidikan, mulai pendidikan dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi menjadi lebih berbasis riset.

Sudah saatnya riset menjadi budaya bangsa, dan bukan lagi mengambil keputusan laiknya ngobrol di warung kopi...

Penulis adalah pemerhati pendidikan dan bergiat sebagai koordinator tim beasiswa pada Netherlands Education Support Office (NESO) di Jakarta


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau