KOMPAS.com – Kebutuhan energi dunia terus meningkat, termasuk di Indonesia. Diperkirakan, cadangan minyak bumi dalam negeri, yang merupakan sumber utama energi Indonesia, akan habis pada 2025.
Merujuk penelitian yang dipublikasikan jurnal Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2013, konsumsi energi nasional pada tahun 2000 mencapai 778 juta barrel setara minyak. Pada 2011, angkanya melonjak menjadi 1.114 juta barrel setara minyak. Padahal, dalam kurun waktu sama, produksi minyak bumi di Indonesia justru susut 4 persen per tahun.
"Sektor transportasi menghabiskan sekitar 60 persen konsumsi energi minyak bumi Indonesia. Dari angka ini, 70 persen berasal dari transportasi jalan," kata Kepala Pusat Studi Energi UGM Deendarlianto, Kamis (7/1/2016).
Sementara itu, Pusat Studi Energi Asia Pasifik (APERC) memperkirakan kebutuhan energi sektor transportasi akan melonjak dari angka 1.087 juta ton setara minyak pada 2002 menjadi 1.991 juta ton setara minyak pada 2030.
Jika tak ada upaya luar biasa untuk menekan konsumsi energi berbasis minyak atau mendorong penggunaan energi terbarukan, APERC memperkirakan Indonesia akan benar-benar mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri pada 2030.
"Ketersediaan bahan bakar fosil kita sudah menipis, infrastruktur (untuk menambah produksi minyak domestik) juga masih kurang berkembang, sementara produksi mobil semakin tinggi. Ditambah, tidak ada kebijakan untuk membatasi usia penggunaan mobil," papar Deendarlianto.
Rentetan data tersebut memperlihatkan ancaman krisis energi bagi Indonesia. Menyikapinya, mulai 2012 UGM menggelar riset melibatkan mahasiswa, bekerja sama dengan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) dan Pertamina. Riset berbasis simulasi tersebut memotret penggunaan alternatif energi untuk sektor transportasi.
Dalam simulasi, para peneliti menguji pengaruh efisiensi bahan bakar dan penerapan bahan bakar alternatif terhadap konsumsi energi, tingkat emisi, dan subsidi bahan bakar minyak. Ada lima simulasi dikaji dalam penelitian bertajuk "Best Energy Mix for Road Transportation in Indonesia" tersebut.
"Jika menggunakan bahan bakar biofuel, gas bumi, mobil listrik, (mobil) hybrid, atau menggunakan percampuran jenis energi ini, (proyeksi) jadinya seperti apa," tutur Deendarlianto.
Berdasarkan hasil penelitian itu, lanjut Deendarlianto, Indonesia perlu segera mengembangkan energi terbarukan dan mengurangi populasi kendaraan tua berbahan bakar bensin. Jika dilakukan secara masif, konsumsi bahan bakar dan subsidi bahan bakar minyak bisa ditekan secara maksimal.
"Program pemerintah, misalnya penggunakan biofuel sampai 20 persen pada 2025 harus jalan, bahkan ditingkatkan angkanya," tuturnya.
Bukan hanya skala nasional, lanjut Deendarlianto, model simulasi itu juga menggambarkan efek penggunaan energi hingga level lebih mikro di tingkat kabupaten.
"Jumlah kendaraan juga harus dibatasi jangan sampai melebihi total panjang jalan. Terakhir, subsidi BBM harus dialihkan agar tidak jebol pada 2025," imbuh dia.
Deendarlianto berharap, penelitian tersebut bisa menjadi referensi bagi pemerintah dalam merancang Rencana Umum Energi Nasional dan Daerah.
"Kami juga bekerja sama dengan industri, terutama industri otomotif, sehingga kajian ini diharapkan bisa digunakan industri ketika merancang produk kendaraan," ucapnya.