Periset lainpun begitu. Ada yang menghabiskan waktu berhari-hari kerja nyaris tanpa henti untuk menumbuhkan kristal. Tidur di laboratorium, makan dan istirahat seadanya adalah hal yang biasa.
Tak ada orang lain yang bisa disuruh untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan “sepele” itu. Peneliti sendiri yang harus melakukannya. Justru di situlah kunci sukses seorang peneliti. “Kenkyusha no ude”, hasil kerja tangan setiap peneliti, itulah yang membedakan hasil riset pada akhirnya.
Data atau produk yang tak bisa dihasilkan oleh peneliti lain, bisa kita capai. Dalam hal itu intelejensi saja tidak cukup. Kerja keras secara fisik berperan cukup penting. Hasil kerja keras itulah yang secara perlahan mengubah pandangan Sensei tentang saya.
Ada hal lain lagi, yang juga tak terkait banyak dengan intelejensi, yaitu soal jaringan. Suatu hari kami pergi menghadiri seminar di luar kota (Hiroshima). Waktu itu karena saya baru beberapa bulan di Jepang, Sensei mengatur semua hal, termasuk reservasi hotel.
Ternyata ketika saya hendak check in di hotel itu, nama saya tidak terdaftar, dan hotel sedang penuh. Melalui pengurus PPI saya cari orang Indonesia yang sedang belajar di kota tersebut dengan maksud minta dipandu mencari penginapan. Tapi akhirnya saya malah diajak menginap di apartemen teman baru tadi.
Ketika mendengar pengalaman saya, Sensei geleng-geleng. “Network kalian orang Indonesia, luar biasa.” pujinya.
Tidak cuma sekali itu. Di lain waktu, usai seminar di Tsukuba Sensei meminta saya memanggil taksi.
“Tidak perlu Sensei, saya bawa mobil.”
“Ha?? Mobil siapa?”
“Saya dipinjami teman Indonesia. Kebetulan mobilnya sedang tidak dipakai.”
Dia kembali tergeleng-geleng. “Saya yang orang Jepang tidak dapat pinjaman mobil, kamu orang asing kok bisa begitu. Luar biasa.” katanya.
Di masa-masa setelah kejadian di Hiroshima tadi, saya tak lagi tergantung pada Sensei. Saya urus sendiri setiap keperluan riset saya, termasuk urusan perjalanan.
Perjalanan adalah bagian penting dari riset, baik dalam rangka seminar maupun melakukan eksperimen di lembaga lain. Tidak cuma itu. Beberapa kali saya pergi presentasi hasil riset ke konferensi internasional dengan dana yang saya usahakan sendiri melalui berbagai research foundation.
Adanya dana semacam ini pun tadinya tidak diketahui oleh Sensei, saya yang memberi tahu dia. “Heran saya, kok kamu lebih tahu soal Jepang daripada orang Jepang.” komentar dia.
“Jadilah orang yang independent, jangan dependent.” nasihat Sensei di awal kedatangan saya. Itulah yang kemudian terjadi. Saya tidak menjadi beban, bahkan kemudian mengurangi beban Sensei.