KOMPAS.com—“Sebab, salah satu cara terbaik merasakan cinta adalah membicarakannya lewat kata dan sketsa....”
Cara terbaik membicarakan cinta adalah merasakannya. Kumpulan kutipan dan gambar yang saling mengisi dalam buku Bicara Cinta dari Penerbit Bhuana Ilmu Populer ini berusaha meraba-raba apa yang hati sampaikan lewat rasa.
Sesudah itu, kutipan dan gambar tentang rasa cinta itu pelahan bakal menjelma menjadi teman mengobrol dan sahabat curhat, yang bisa kamu ajak ke mana saja dan bercerita tentang apa pun, yang memotivasi, berjalan bersamamu, dan mewakili suara hati yang ingin diungkapkan.
Mencintai ibarat kata kerja yang mewakili kata “derita”, mengemas diri dengan bungkus permen lolipop. Hanya sebuah samaran! Lagi pula, kita semua menyukainya, jadi baik-baik saja.
Saling bersahutan, berseling gambar, rangkaian kata dalam buku ini berpadu padan menyusun makna tentang rasa, tentang cinta. Simak saja beberapa ungkapan dalam buku yang beredar sejak 9 Februari 2016 ini.
"Kamu tahu apa alasannya? Sederhana saja, coba tengok salah satu rak lemarimu, dekat dengan baju-baju koleksimu, sudah berapa topeng yang kamu punyai untuk digonta-ganti sebelum melangkah keluar rumah?"
"Kututup layar ponsel setelah membaca pesan retorisnya berulang kali. Perbincangan perihal perasaan bersamanya selalu seperti ini—mampu membelah masing-masing hati kita jadi dua. Nyeri!"
Di lembar berikutnya, "Kupindai pandangan keluar jendela yang kacanya sudah buram oleh debu yang melengket. Pandangan di luar rumah tak jauh berbeda dari kemarin; pohon dan semak-semak yang saling bergesekan karena tiupan angin."
Dan sederet pertanyaan pun berhamburan dalam lembar-lembar halaman buku ini.
"Apakah kerap begitu, ketika kamu mengizinkan diri untuk mencintai?" Juga, "Aku mencintainya belasan tahun. Menunggunya adalah bentuk perjuanganku lainnya. Dan, bagaimana harus kubayangkan ketika ternyata juang adalah sinyal lain bagi kata serah?"
"Suara derik jangkrik semakin terdengar. Cuap-cuap dari radio tua yang kerap kunyalakan begitu saja tiba-tiba jelas menyeruak. Keduanya saling timbul tenggelam, berebut jadi latar atas lamunanku yang terlempar pada seseorang setelah pesan beruntun itu menghantam ingatanku."
"Cinta dan mencintai itu... dan seseorang itu... Sialnya aku tak pernah menyesal. Ini seperti kamu meminum segelas cairan yang tak kamu tahu, dan nyatanya adalah setegak racun.
Kamu mati dengan bahagia karena... untungnya kamu yang menelannya, bukan seseorang yang kamu ajak minum bersamamu—yang kamu tunggu pertemuannya, yang kamu... cintai. Ia bahagia, dan cerita ini usai. Tak apa...."