KOMPAS.com – Lisa (10), santri di salah satu panti asuhan di Pademangan, Jakarta, mengaku tak mampu membeli buku. Padahal, ia hobi membaca dan kalau bisa ingin setiap hari disuguhi beragam buku bacaan.
"Baca buku cerita, pelajaran, lalu buku-buku apa saja aku mau baca," kata Lisa kepada Warta Kota saat peluncuran Mobil Pintar Ancol di Underwater Theater, Ocean Dream Samudra, Taman Impian Jaya Ancol, Rabu (15/6/2016).
Memang, buku masih jadi barang mewah bagi sebagian orang Indonesia. Bagaimana tidak, data UNICEF tahun 2012 menunjukkan sekitar 44,3 juta anak terkena dampak kemiskinan. Mereka hidup dengan penghasilan kurang dari dua dollar per hari atau sekitar Rp 20.000 dalam kurs saat itu. Jangankan membeli buku, makan saja belum tentu cukup.
Padahal, buku bisa membuka wawasan dan membantu anak-anak tersebut mengintip dunia. Membaca dapat pula melatih kemampuan berpikir kritis. Kecakapan ini sangat mereka dibutuhkan untuk menghadapi tantangan di masa depan.
Menyingkapi hal ini, sebenarnya sudah banyak organisasi nirlaba atau komunitas-komunitas berbasis kemasyarakatan membangun rumah baca bagi masyarakat tak mampu. Di DKI Jakarta, misalnya, 1001 buku, sebuah komunitas relawan pengelola taman bacaan anak sudah memiliki setidaknya 32 taman baca.
Selain itu, banyak juga penulis buku populer membangun ruang baca gratis. Asma Nadia, contohnya, memiliki lebih kurang 203 Rumah Baca Asma Nadia di kawasan Jakarta dan sekitarnya.
Tak hanya geliat masyarakat saja, pemerintah sebenarnya sudah pula menyediakan fasilitas sama. Berdasarkan data Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) DKI Jakarta, perpustakaan atau Taman Bacaan Masyarakat (TBM) terus bertambah jumlahnya.
Jika pada 2014 jumlah TBM masih sekitar 40 saja, tahun 2015 totalnya bertambah menjadi 54 perpustakaan. Namun pertanyaannya, berapa banyak orang mengunjungi ruang baca umum?
Pada 2014, rata-rata hanya 7 hingga 8 orang saja yang berkunjung ke TBM per harinya. Keanggotaan perpustakaan belum ramai pula. Di tahun sama, total anggota dewasa di seluruh TBM Jakarta masih berjumlah 503 orang, sedangkan anak-anak baru 190 peserta.
Bukan hanya soal ketidakmampuan membeli buku. Pada kenyataannya, minat baca penduduk Indonesia memang masih rendah, termasuk di kalangan anak-anak.
Data UNESCO menunjukkan, persentase minat baca anak Indonesia sekitar 0,01 persen saja. Perbandingannya, hanya satu dari 10.000 anak yang punya kegemaran membaca. (Baca: Yayuk Basuki: Minat Baca Anak Indonesia Hanya 0,01 Persen)
Hal tersebut terjadi karena kebiasaan orang Indonesia dalam mengkonsumsi informasi sudah jauh dari kegiatan membaca sejak lama. Survey Badan Pusat Statistik tahun 2006 menemui, 85,8 persen masyarakat Indonesia lebih suka menonton televisi, dan hanya 23,5 persen yang memilih membaca koran.
Karena itu, perlu pendekatan lebih persuasif terhadap anak-anak untuk menumbuhkan kecintaan pada buku. Rumah baca tak lagi bisa tinggal diam di tempat menunggu pengunjung datang.
Metode "jemput bola" harus mulai diterapkan. Kini, rumah baca disulap dalam bentuk mobil sehingga bisa bergerak lebih leluasa, salah satunya Mobil Pintar Ancol.