Augustinus Widyaputranto
Pemerhati pendidikan

Pemerhati masalah pendidikan, bekerja sebagai Kepala Bagian Program Development Sekolah Bisnis dan Ekonomi – Universitas Prasetiya Mulya,  Jakarta

Pendidikan Nasional: Anak Tiri Revolusi Mental?

Kompas.com - 28/07/2016, 17:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Reshuffle kabinet yang baru saja dilakukan rupanya menyisakan kekecewaan mendalam bagi sebagian publik dan netizen. Reaksi kekecewaan terbesar adalah digantinya Anies Baswedan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Publik percaya bahwa dilengserkannya Anies Baswedan ini lebih disebabkan oleh dinamika politik praktis, bagi-bagi kekuasaan dan bukan persoalan kinerja apalagi strategi kebijakan pendidikan nasional.

Anies Baswedan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selama ini dinilai publik telah berusaha melakukan perbaikan fundamental, khususnya pada kultur, pendekatan pedagogi dan mentalitas pendidikan nasional.

Terlepas dari apa yang menjadi pertimbangan Presiden Jokowi dan semua kontroversi yang menyertai, pergantian seorang menteri pendidikan dan kebudayaan di tengah jalan bukanlah sebuah pilihan dan strategi yang ideal di dalam kebijakan pendidikan nasional. Apalagi bila agenda reformasi untuk membenahi kultur dan mentalitas pendidikan sedang dilakukan.

Tidak ideal, karena pembenahan dan reformasi pendidikan dasar dan menengah selalu membutuhkan waktu dan jaminan kontinuitas di dalam ideologi, konsep dan rencana jangka panjang.

Mengganti seorang menteri yang on track menjalankan pembaharuan dalam bidang pendidikan selama 20 bulan berisiko akan mencederai pendidikan nasional secara luas, dan bisa menjadi indikasi bahwa sektor pendidikan bukanlah prioritas penting dan strategis Kabinet Kerja, apalagi bila ini dilakukan dalam kepentingan politik praktis.

Harus kita akui bahwa nalar bisnis dan kekuasaan sudah menjadi nalar masyarakat di dalam memahami pendidikan. Nalar ini tumbuh ketika pemahaman, kebijakan dan pelaksanaan pendidikan nasional menempatkan pendidikan hanya sebagai bagian dari peningkatan pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan mobilitas sosial.

Cara pandang terhadap pendidikan yang demikian mengakibatkan nilai-nilai pragmatisme, ekonomi dan juga konsumtif menggerus nilai luhur kebangsaan, menghambat pembentukan rasionalitas, etos kerja, karakter mulia dan warga negara yang bertanggungjawab.

Dominannya sistem dan mentalitas bisnis di dalam pengelolaan lembaga pendidikan di semua level misalnya, telah memberikan dampak serius di mana kecenderungan pengelolaan kurikulum, program studi, fasilitas pendidikan dan tenaga pendidik selalu dilakukan dalam konteks analisis pasar, di dalam gambar besar supply-demand tenaga kerja.

Guru, dosen, sekolah dan perguruan tinggi bukan tidak mungkin hanya menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan bisnis dan industri.

Betul bahwa memang perlu ada kaitan antara pendidikan dan industri, namun menempatkan argumen mendasar tentang kebijakan pendidikan semata-mata pada kebutuhan industri dan ekonomi adalah hal yang berbeda.

Bagi pemerintah, di sisi lain, pendidikan adalah satu bagian dari rantai alur industrialisasi dan ekonomi, dalam konteks peningkatan modal manusia. Hal ini dipengaruhi oleh perspektif pembangunan yang berfokus pada sektor ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi dan mobilitas sosial menjadi penggerak utama mental bangsa di dalam setiap aspek dinamika kehidupan.

Dengan nalar bisnis dan kekuasaan sebagai fundamen, ruang kelas tidak memiliki atmosfer intelektual yang kental. Sebagian dosen sering mengeluh bahwa semakin banyak mahasiswa sulit berpendapat dan bertanya dengan sistematis-logis, tidak bisa membaca secara komprehensif apalagi menulis dengan baik.

Publikasi jurnal ilmiah jauh dari berkualitas ketika masih banyak mahasiswa dan dosen yang bermental plagiat. Ilmu pengetahuan tidak berkembang dan hanya menjadi komoditi untuk mendapat sertifikasi demi mencapai jenjang meritokrasi bermotif kepentingan ekonomi dan kekuasaan.

Halaman Berikutnya
Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau