Augustinus Widyaputranto
Pemerhati pendidikan

Pemerhati masalah pendidikan, bekerja sebagai Kepala Bagian Program Development Sekolah Bisnis dan Ekonomi – Universitas Prasetiya Mulya,  Jakarta

Pendidikan Nasional: Anak Tiri Revolusi Mental?

Kompas.com - 28/07/2016, 17:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Menjadi Indonesia

Pendidikan sekarang mungkin secara faktual bukanlah soal bagaimana nilai-nilai hidup bangsa diteruskan, dan bukan tentang bagaimana membangun warga negara yang baik. Pendidikan adalah soal mobilitas sosial dan politik dalam pasar kerja kapitalisme.

Tidak heran bila sejak lama pendidikan tidak memberi solusi perubahan sosial karena pendidikan itu sendiri sudah mengabdi kepada tuan yang salah.

Pendidikan kita dewasa ini juga bukan tentang Indonesia, karena national character building nampaknya semakin tergerus oleh arus gaya hidup berbasis kapital yang konsumtif.

Bangsa ini lupa “menjadi Indonesia” sehingga pendidikan semakin lama hanya mengabdi ketamakan.

Semangat gotong royong, saling membantu, saling menghormati makin sirna ditelan pola hidup konsumtif.

Pendidikan kita hanya menjadi pion kepentingan politik praktis, bernalar bisnis, yang beranggapan bahwa konsumsi adalah penggerak terbaik ekonomi.

Logikanya, semakin tinggi dan baik tingkat pendidikan, semakin orang bisa punya kekuasaan dan menikmati gaya hidup konsumtif semacam ini.

Maka, terbukti  bahwa jual beli ijazah hanyalah gejala ikutan paling akut dari pendidikan bernalar bisnis dan politik praktis.

Pendidikan nasional selayaknya ditempatkan di dalam usaha besar bangsa di dalam membangun ke-Indonesia-an.

Ruang kelas harus menjadi tempat ideal untuk menumbuhkan kesadaran sebagai warga negara, dan membuat peserta didik memahami secara mendalam persoalan bangsa, sehingga ilmu dapat sungguh berarti di hadapan realitas masyarakat dewasa ini.

Pendidikan nasional seharusnya berkontribusi di dalam membangun mental bangsa.  Mental hanya bisa dibangun bila “menjadi Indonesia” itu adalah proses kolektif.

Menjadi Indonesia sudah pasti semakin sulit ketika kohesi sosial di masyarakat makin didominasi oleh motivasi kekuasaan politik, ekonomi, dan sebatas untung atau rugi.

Membangun mental bisa dilakukan bila tatanan hidup berbangsa diletakkan di dalam kerangka nilai-nilai sosial kultural kebangsaan yang demokratis.

Hal ini bisa terjadi bila keadilan ditegakkan dan hukum dibuat dengan adil dan jujur, serta mengabdi kepentingan bangsa, bukan hasil kongkalikong pemilik modal, partai politik dan wakil rakyat.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau