Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indy Hardono
Pemerhati pendidikan

Saat ini bergiat sebagai koordinator tim beasiswa pada Netherlands Education Support Office di Jakarta. Sebelumnya, penulis pernah menjadi Programme Coordinator di ASEAN Foundation. 

Sudahkah Kita Merdeka Berpikir?

Kompas.com - 17/08/2016, 08:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLatief

KOMPAS.com - Stockholm is a State of Minds! Sebuah billboard besar terpampang di hall kedatangan Bandara Arlanda, Stockholm, Swedia. Tak seperti bandara-bandara lain yang biasanya menyambut para pendatang dengan papan iklan besar yang menampilkan keindahan alam, bandara tersebut justru menyapa terlebih dulu para pelajar dan peneliti. Welcome students and researchers!

Negara tempat berasalnya penghargaan Nobel itu memang menjadikan inovasi sebagai "mantra" mereka. Mereka juga menempatkan para peneliti dan pelajar sebagai garda terdepan yang menjadikan negara ini sebagai salah satu negara paling makmur di seluruh dunia.

Negara yang dibangun dengan pemikiran. Negara yang mengandalkan pemikiran sebagai sumber daya utamanya.

Proklamasi

Kita ingat betul, naskah proklamasi kita sangat singkat. Namun, sangat dalam makna implisitnya, dan implikasi yang diakibatkannya.

Cobalah lihat alinea pertamanya: "Kami bangsa Indonesia, menyatakan dengan ini kemerdekaan Indonesia". Sungguh luar biasa determinasi para pemimpin kita yang berani menentukan nasibnya sendiri dan melantangkannya ke seluruh dunia.

Aline kedua tidak kalah menariknya: "Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya". Bagian ini menyiratkan bagaimana proses itu dilakukan secara cepat, namun hati-hati dan penuh perhitungan agar tidak terjadi pertumpahan darah.

Jelas terlihat, bukan hanya unsur kecermatan dan ketaktisan, tapi juga kearifan. Tidaklah mungkin ramuan brilian, tapi concise ini dapat tercipta jika bukan oleh para pemikir.

Proklamasi kemerdekaan kita adalah titik kulminasi pikir, bukan kulminasi power atau kulminasi perjuangan fisik dan senjata. Bangsa ini lahir dari buah pikir!

Jadi, proklamasi adalah suatu state of minds, bukan state of power.

Pendidikan sebagai panglima

Sudahkah di usia kemerdekaan yang ke-71 ini kita memiliki kemerdekaan berpikir? Bukan kemerdekaan yang diisi hanya dengan mengandalkan otot, kekuasaan dan kekuatan politik.

Kemerdekaan berpikir hanya dapat diraih jika yang dijadikan panglima adalah pendidikan, bukan yang lain.

Dari sejarah kita belajar bahwa perjuangan kemerdekaan baru terlihat titik terangnya pada saat Budi Oetomo tampil di depan. Juga, mulai terasa akselerasinya begitu Bung Hatta pulang dari Belanda setelah 'bertafakur' selama 11 tahun di sana.

Aroma kemerdekaan juga mulai tercium setelah Suryadi Suryaningrat,-- yang kemudian menanggalkan kebangsawanannya  menjadi Ki Hajar Dewantara selama masa pembuangannya di Belanda, --mulai mengirimkan sinyal kemerdekaan melalui tulisan-tulisannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com