Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Imelda Bachtiar

Alumnus Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia (UI) tahun 1995 dan Pascasarjana Kajian Gender UI tahun 2010. Menulis dan menyunting buku bertema seputar memoar dan pemikiran tokoh berkait sejarah Indonesia, kajian perempuan, Peristiwa 1965 dan kedirgantaraan. Karyanya: Kenangan tak Terucap. Saya, Ayah dan Tragedi 1965 (Penerbit Buku Kompas-PBK, 2013), Diaspora Indonesia, Bakti untuk Negeriku (PBK, 2015); Pak Harto, Saya dan Kontainer Medik Udara (PBK, 2017); Dari Capung sampai Hercules (PBK, 2017).

Jalan Sebuah Buku Indonesia Mencari Penerbit Asing

Kompas.com - 14/11/2016, 18:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Ia kemudian, atas nama kami berdua, mengontak secara resmi (dalam bahasa Jerman) lima penerbit Jerman untuk kami temui nanti di Frankfurt. Pemilihan lima penerbit ini adalah dengan alasan kedekatan isu Indonesia yang pernah diterbitkan oleh kelimanya.

Mereka yang disurati adalah:  Abera Verlag – Hamburg; CH Beck Verlag – Munchen; S. Fischer Verlage – Frankfurt; Ullstein Buchverlage – Berlin (penerbit novel Amba, karya Laksmi Pamuntjak); dan Horlemann Verlag (penerbit novel Pulang, karya Leila Chudori dan karya-karya Pramudya).

Pada hari ketiga FBF, kami menemui kelimanya, ditambah Goethe Institute. Kesemuanya menjadi lancar karena komunikasi dengan penerbit di stan buku mereka dilakukan dengan bantuan penterjemah bahasa Jerman.

Kami menyerahkan  buku ringkasan berbahasa Jerman kepada penerbit yang kami temui. Sayangnya, karena habis, dua penerbit hanya dikirimi soft copy.

Goethe Institute menyarankan kami bertemu direkturnya di Jakarta, sekalian melampirkan buku edisi bahasa Indonesia dan ringkasan berbahasa Jerman. Ibu Nani dan saya berpendapat bahwa apa yang bisa dilakukan di Frankfurt sudah optimal.

Padatnya acara di stan Gramedia Publishers selama FBF berlangsung, membuat kami tidak mendapat waktu dan tempat untuk mempresentasikan buku ini.

Sangat disayangkan, mengingat Bu Nani penulisnya, banyak sekali ditemui orang yang tertarik dengan bukunya. Baik orang Jerman maupun orang asing lainnya (penulis, penerbit, maupun peneliti universitas), maupun orang Indonesia yang telah lama bermukim di Eropa.

Buku ringkasan berbahasa Jerman yang dibuat sebanyak 30 eksemplar, habis diminati pada dua hari pertama pameran.

Tema 1965, Menarik, Tetapi Tidak akan Best Seller

Saya berkenalan dengan Helene Poitevin, librarian EHESS University, Perancis, yang tinggal di Paris. Ia juga peneliti Asia, yang lebih pada studi sastra bertema sejarah. Ia adalah pengunjung stan buku Indonesia di hall 3.0 selama dua hari pertama FBF, 14-15 Oktober 2015.

Saya menegurnya dan akhirnya mengobrol cukup lama soal tema-tema Indonesia apa yang mungkin diterbitkan untuk pembaca Eropa.

Tema 1965, menurut Helene, memang akhir-akhir ini (tiga tahun terakhir) menjadi tema yang paling banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan Perancis, selain Inggris. Tetapi, ia mengingatkan, hanya orang-orang tertentu yang berminat membacanya. Ceruk ini sangat sempit.

Maka, bila terlihat ada promosi besar-besaran yang dilakukan penerbit Jerman untuk buku-buku karya Leila S. Chudori dan Laksmi Pamuntjak di ajang FBF 2015, memang itulah yang biasa dilakukan penerbit Jerman untuk karya alih bahasa yang telah diterbitkannya. Apalagi, momennya tepat: Indonesia tuan rumah FBF 2015.

Diskusi dan Promosi

Refleksi akhir kami, bila nanti ada sebuah even internasional sekelas FBF 2015, penerbit Indonesia pun harus aktif mendukung para penulisnya untuk mempromosikan bukunya dalam ajang itu.

Baik bila kita bercermin dan meniru apa yang dilakukan para penerbit Jerman mempromosikan buku-buku Indonesia yang sudah dialihbahasakan ke bahasa Jerman.

Jadi, ada beberapa hal yang intens harus dilakukan. Diskusi, dengan berbagai media, tidak cuma di ajang pameran. Lalu, resensi dan ringkasan dalam bahasa asing, dan kemudian juga temu muka langsung dengan penulis.

Mereka melakukan ini semua dengan intensif. Bila tidak, agak mustahil pesan sebuah buku sampai ke pembaca yang lebih luas, khususnya pembaca berbahasa asing.

Apakah ini semua proses yang instan? Pasti tidak, tapi bukan mustahil menunjukkan hasil emas bertahun-tahun setelah buku itu diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com