KOMPAS.com - Pernahkah terbayangkan, sebuah kapal selam berskala nano mengarungi pembuluh darah di tubuh kita dan bergerak dengan propeler yang digerakkan oleh gula sebagai bahan bakarnya?
Itulah konsep yang dikembangkan oleh profesor Ben Feringa, seorang ahli kimia dari Universitas Groningen di Belanda yang baru saja dianugrahi hadiah Nobel untuk bidang kimia tahun 2016.
Impian profesor yang dibesarkan di tanah pertanian di Belanda itu adalah mengembangkan nano teknologi, khususnya nano mesin untuk membantu dunia kedokteran. Dia membayangkan 50 tahun lagi akan tercipta mesin yang berfungsi sebagai robotic surgeon yang dapat mendeteksi lokasi atau bagian tubuh tempat dilakukannya terapi kemo yang paling presisi bagi seorang penderita kanker atau tumor.
Berpikir nano
Kita buka lagi catatan, bahwa 1 nanometer adalah 1/1,000,000,000 meter. Suatu dimensi yang bahkan lebih kecil dari sehelai rambut kita.
Berpikir nano adalah berpikir ke dalam (inward), bukan keluar (outward). Berpikir nano adalah berpikir yang dikendalikan oleh faktor terdalam dari diri kita yang kemudinya adalah self awareness dan conscience. Kesadaran diri itulah yang menggerakkan kita, bukan faktor luar!
Namun, kenyataannya, fakta membuktikan bahwa kita masih lebih gandrung dengan pola berpikir 'besar'. Orang lebih menghargai seorang tokoh besar dengan kerja kecil ketimbang orang 'kecil' dengan hasil kerja 'besar'.
Ya, banyak pemimpin yang dikategorikan sebagar pemimpin besar, bahkan diagungkan bak raja atau panglima perang hanya karena memiliki massa besar, didukung kekuatan besar, berbicara paling besar. Sebaliknya, pemimpin bersahaja, dan membumi, tidak berkoar-koar, hanya dipandang sebelah mata.
Bahkan, di kalangan akademia pun "sindrom megaloman" cukup kronis dan memprihatinkan. Banyak universitas yang masih mengandalkan nama besarnya sebagai universitas terbesar dan terhebat. Padahal, untuk unggul di level kawasan saja masih ngos-ngosan.
Dus, ini memang eranya nano teknologi! Era dimana kebutuhan kita semakin berorientasi kepada yang kecil-kecil mulai dari telepon, komputer sampai peralatan rumah tangga. Eranya kita diajak untuk mengulik sampai ke inti terkecil dari sesuatu yang besar.
Inilah era atau momentum manusia bukan lagi berbicara tentang cara membuat pesawat berbadan lebar dengan kapasitas 400 penumpang atau lebih, tapi berangan membuat sebuah mesin yang dapat ditanamkan di pembuluh darah seseorang untuk membantu mengefektifkan pengobatan penderita tumor.
Segala yang besar dibangun dari partikel dan komponen-komponen kecil. Tapi, kadang kita lupa, kita ingin langsung mendapat hasil langsung besar. Kita bahkan terbiasa menghargai pencapaian yang terlihat besar tanpa perduli kalau hasil besar adalah buah dari bibit-bibit kecil.
Kalau kita berenang di kolam kecil, maka kita merasa besar. Padahal, jika kita berenang di tengah lautan Pasifik, barulah kita merasakan betapa kita hanyalah buih kecil, sangat tak berarti.
Pun, jika kita hanya berkutat di satu lingkungan, satu organisasi, satu paham, dan merasa kita sudah berada di puncak dunia, maka hal selanjutnya yang terjadi adalah tergerusnya kita oleh zaman. Kita tidak akan kemana-mana, kita akan terborgol dengan ‘kebesaran’ itu sendiri. Itu-itu saja, dan cuma di situ-situ saja!