Muhammad Latief
Editor

Penulis adalah jurnalis Kompas.com yang lama menangani desk pendidikan. Rutinitas penulis saat ini adalah menangani content marketing di Kompas.com

Setelah Musibah Mapala UII, Mau ke Mana Pencinta Alam?

Kompas.com - 27/01/2017, 17:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLatief

KOMPAS.com - Wajah Sri tak dapat menyembunyikan kesedihannya. Air matanya tumpah berkali-kali.

"Asyam itu anak yang aktif, sibuk dengan belajar dan kegiatan dari pagi sampai pagi lagi. Sampai saya bilang, 'Belum kerja kok sudah mirip Pak Menteri'," ujar Sri, ibu almarhum Asyam saat ditemui di rumahnya, Jetis RT 13/RW 13, Caturharjo, Sleman, Senin (23/01/20167).

Asyam adalah mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) yang meninggal usai mengikuti kegiatan Diksar Great Camping (GC) ke-37 pada 13-20 Januari 2017 lalu di Gunung Lawu, Tawangmangu, Jawa Tengah. Hingga hari ini polisi masih mengusut musabab tewasnya ketiga mahasiswa yang tergabung dalam Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) UII itu, yaitu Muhammad Fadhli (Teknik Elektro), Syaits Asyam (Teknik Industri), dan Ilham Nurfadmi Listia Adi (Hukum Internasional).

Buntut peristiwa tragis itu pun makin panjang. Selain unit kegiatan mahasiswa pencinta alam itu sendiri dibekukan, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Harsoyo bahkan mengundurkan diri di depan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir saat jumpa pers di Kopertis Wilayah V, Kamis (26/1/2017).

Sebelumnya, kisah tragis serupa juga terjadi pada "adik-adik" di pecinta alam SMAN 3 Jakarta. Dua siswa SMAN 3 Setiabudi Jakarta bernama Afriad Caesar Al Irhami dan Padian Prawirodirya meninggal dunia setelah mengikuti kegiatan pecinta alam di Tangkuban Perahu, Jawa Barat, pada Juni 2014.

Berdasarkan hasil visum, diketahui Afriad Caesar menderita luka dalam akibat hantaman benda tumpul yang diperkirakan sudah dialaminya sekitar tiga sampai empat hari sebelum meninggal dunia.

Rekannya, Padian juga bernasib sama tragisnya. Setelah dirawat sekitar dua minggu di RS Hasan Sadikin Bandung, Padian akhirnya meninggal akibat infeksi yang dideritanya. Buntutnya, unit ekskul pecinta alam SMAN 3 ditutup hingga waktu yang tidak ditentukan. Mau dibawa kemana nama mahasiswa pencinta alam?

KOMPAS.com / WAHYU ADITYO PRODJO Para pendaki di Lembah Surya Kencana, Gunung Gede, Jawa Barat, Minggu (13/11/2016).
Menempa mental

Bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi dalam kegiatan diklatsar (pendidikan latihan dasar) mahasiswa pencinta alam (Mapala) ternyata memang ada, dan itu sulit dibantah. Jangan-jangan malah jadi wabah yang pelan-pelan menular. Banyak yang tahu, tapi pura-pura tak tahu, bahkan tak mau tahu, apalagi sampai mengungkap ke permukaan hingga akhirnya terjadi kisah tragis ini. Apa memang harus begitu?

Latihan fisik tentu ada. Bahkan, menempa fisik sebelum bergiat di alam bebas menjadi makanan wajib dan menu utama. Tanpa fisik yang kuat, bermain di alam terlalu berisiko alias cuma mengantar nyawa. Tapi kekerasan, buat apa?

"Bagi para pencintanya alam adalah rumah, sekolah, museum, dan juga laboratorium," ujar Ayat Rochaedi, salah satu anggota senior Mapala UI di buku Norman Edwin: Catatan Sahabat Sang Alam.

Ayat mengatakan bahwa alam adalah sarana pendidikan. Kegiatan alam yang terarah dan terencana menuntut tujuan pendidikan formal maupun non-formal. Jadi, kenapa harus ada kekerasan fisik pada peserta pendidikan pencinta alam? Untuk menempa mental agar sekuat baja?

Untuk menjawab itu, tak ada salahnya mengambil contoh pola perekrutan anggota Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI). Sebagai salah satu mahasiswa pencinta alam tertua di Tanah Air, Mapala UI sudah berulang kali mengubah sistem perekrutan anggotanya. Perubahan itu dilakukan sesuai tuntutan zaman sejak dibentuk pada 1964.

Di awal berdirinya, para pendiri Mapala UI, antara Herman O Lantang dan Soe Hok Gie memakai pola magang. Di sini calon anggota (caang) atau junior harus 'nyantrik' atau 'berguru' dengan sang mentor atau senior. Kedunya akan selalu beriringan dalam bergiat dan bersosialisasi, baik dalam kegiatan alam bebas (outdoor activity) maupun aktivitas non-lapangan.

Pada sistem ini keterlibatan emosi antara junior dan senior sangat erat dan kuat. Antara keduanya banyak terjadi diskusi dan transfer ilmu pengetahuan sampai akhirnya dilantik menjadi anggota dengan nomor mapala kesekian. Perlu dicatat, tak ada satu pun bentuk kekerasan selama proses nyantrik atau berguru itu berlangsung!

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau