KOMPAS.com - Beruntunglah menjadi perempuan Indonesia, yang setidaknya masih punya hak istimewa. Mengapa pantas disebut istimewa? Karena di belahan dunia lainnya, hak ini tidak dapat dinikmati perempuan lainnya.
Setidaknya, itulah benang merah bisa diambil dari kisah dalam novel The Pearl That Broke Its Shell karya Nadia Hashimi yang diterbitkan oleh Bhuana Sastra (imprint penerbit Bhuana Ilmu Populer, 2017).
Berlatar kota Kabul, Afganistan, pada 2007, novel ini bercerita tentang kehidupan perempuan di negara yang menjunjung tinggi patriarki. Hak Rahima dan keempat saudarinya sangat dibatasi, mulai hak untuk sekolah, ke pasar, atau sekadar main kelereng di kompleks permukimannya.
"Ia menjadi orang yang berani bertindak. Ia menjadi orang yang menunjukkan kepada semua orang di sekelilingnya bahwa ia menerima siksaan mereka."
Bacha Posh
Dengan situasi ayahnya, seorang eks militer yang kecanduan opium dan menghabiskan sisa hidupnya bersantai-santai di sofa, Rahima harus menjadi seorang bacha posh, yakni tradisi para keluarga di Afganistan yang tidak memiliki putra, dengan mengubah penampilan anak perempuannya menjadi anak laki-laki untuk sementara hingga akil balig.
Sebagai seorang bacha posh, Rahima berganti nama menjadi Rahim. Dia juga bisa bersekolah seperti anak laki-laki Afgan pada umumnya.
Memang, setiap keluarga yang tidak memiliki keturunan laki-laki otomatis menjadi aib bagi sang istri. Alasan inilah salah satu pemicu poligini di Afganistan, yaitu dengan memperistri wanita yang bisa memberikan seorang putra sebagai warisnya.
Namun, ketika keluarga tersebut hanya berisikan anak gadis seperti keluarga Rahima, satu-satunya takdir bagi mereka adalah dinikahi, entah sebagai istri pertama, kedua, ketiga, atau keempat.
"Perasaan itu berawal manis dan berakhir dengan getir, saat ia menyadari bahwa ia berdiri di atas abu dari masa penuh kebahagiaan yang hanya berlangsung singkat."
Rahima lalu muak dengan situasi ini. Dengan tekad untuk mengubah takdirnya, ia terinspirasi dari nenek buyutnya, Shekiba, yang juga pernah menjadi seorang bacha posh dengan nama Shekib.
Ya, Shekib terpaksa menjalani kehidupannya sebagai laki-laki karena harus bertahan hidup seorang diri, tanpa orangtua dan adik-adiknya yang sudah meninggal. Shekiba berjuang dari kemalangan bertubi-tubi demi membangun kehidupannya yang baru.
"Aku bertanya-tanya apakah itu akan membuat perbedaan. Apakah satu perbedaan kecil dalam rangkaian kejadian akan mengubah jalan yang kami ambil."
Potret kesadaran
Penulis novel ini adalah Nadia Hashimi, seorang perempuan Afganistan yang lahir dan menetap di Amerika setelah orangtuanya meninggalkan Afganistan pada 1970-an sebelum invasi Soviet.