Rahima lalu muak dengan situasi ini. Dengan tekad untuk mengubah takdirnya, ia terinspirasi dari nenek buyutnya, Shekiba, yang juga pernah menjadi seorang bacha posh dengan nama Shekib.
Ya, Shekib terpaksa menjalani kehidupannya sebagai laki-laki karena harus bertahan hidup seorang diri, tanpa orangtua dan adik-adiknya yang sudah meninggal. Shekiba berjuang dari kemalangan bertubi-tubi demi membangun kehidupannya yang baru.
"Aku bertanya-tanya apakah itu akan membuat perbedaan. Apakah satu perbedaan kecil dalam rangkaian kejadian akan mengubah jalan yang kami ambil."
Potret kesadaran
Penulis novel ini adalah Nadia Hashimi, seorang perempuan Afganistan yang lahir dan menetap di Amerika setelah orangtuanya meninggalkan Afganistan pada 1970-an sebelum invasi Soviet.
Dalam novel international best seller ini Nadia berhasil membawa potret kehidupan Afganistan kepada pembaca, terutama kaum perempuan, yaitu potret yang menggugah kesadaran akan eksistensi perempuan di dunia ini.
Khaled Hosseini, penulis novel The Kite Runner (2003) bahkan tak segan memberi testimoni di buku ini; "Sebuah kisah keluarga yang lembut dan indah. Nadia Hasimi selalu membuat cerita multigenerasi yang menarik sebagai potret Afganistan dengan segala kekacauan dan teka-tekinya, serta menjadi cermin perjuangan wanita Afganistan yang masih terjadi."
"Kurasa... seseorang harus bertindak di luar kebiasaan. Harus mengambil kesempatan jika sangat menginginkan sesuatu."
Tidaklah mengherankan bila novel ini mendapatkan penghargaan sebagai 'Goodreads Choice Award Nominee for Fiction of 2014' dan 'Goodreads Choice Award Nominee for Debut Goodreads Author of 2014'.
Membaca The Pearl That Broke Its Shell ini sepatutnya membuat kaum perempuan Indonesia bersyukur bahwa R.A Kartini, Cut Nyak Dien, Martha Tiahahu, Dewi Sartika, dan para pejuang wanita lainnya lahir di Indonesia dan lebih dahulu ada ketimbang mereka. Melalui mereka, perempuan-perempuan Indonesia bisa berani bermimpi menjadi Wonder Woman milenial.
Membaca buku ini bisa membuat perempuan Indonesia tersadar, bahwa semangat Kartini para perempuan Indonesia tidak hanya bertahan satu hari saja, yaitu di Hari Kartini atau 21 April, dan kemudian pudar di 364 hari lainnya.
Hak perempuan Indonesia adalah sederajat dengan pria, yang tidak hanya pada 21 April, tetapi sepanjang tahun. Itu bukanlah hak biasa, melainkan hak istimewa.
(SHARA YOSEVINA/PENERBIT BHUANA ILMU POPULER)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.