Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/08/2017, 18:26 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis

Fatwa terkini yang spesifik menyebut kata wakalah adalah Fatwa DSN Nomor 105/DSN-MUI/X/2016 tentang Penjaminan Pengembalian Modal Pembiayaan Mudharabah, Musyarakah, dan Wakalah bil Istitsmar.

Keempat fatwa tersebut pada umumnya terbit setelah ada fenomena atau inisiatif yang terjadi di praktik di masyarakat. Fatwa terbitan 2014 tentang SBSN, misalnya, sudah didahului penerbitan sukuk syariah yang dimulai pada 2008.

Penerbitan SBSN yang merupakan kelompok instrumen investasi sukuk ritel ini memiliki payung hukum UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN. Aturan pelaksanaannya antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2008 yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 127 Tahun 2015, serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 218 Tahun 2008 yang lalu diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.08/2011.

Kembali ke topik dana haji, pendapat ulama yang secara khusus membahasnya adalah Hasil Ijtima Ulama IV. Ada tiga tema yang secara khusus berkaitan dengan masalah haji di dalam hasil ijtima ini.

(Baca juga: Hasil Ijtima Ulama IV: Dana Haji adalah Milik Jemaah)

Ketiga tema tersebut adalah soal dana talangan haji, status kepemilikan setoran biaya perjalanan ibadah haji (BPIH), serta hukum penempatan dana BPIH di bank konvensional.

Hasil ijtima ini menyatakan dana talangan haji tidak diperbolehkan secara syariah. Lalu, hasil ijtima menyebutkan dana haji adalah milik jemaah. Namun, hasil ijtima yang sama berpendapat pemerintah dapat memanfaatkan dana haji selama mengatur pada sejumlah ketentuan.

Hasil ijtima memang cenderung tak sekuat fatwa DSN sebagai dasar hukum positif di Indonesia. Namun, sejumlah fatwa DSN juga kerap muncul sesudah ada hasil pertemuan para ulama se-Indonesia tersebut.

Sebaliknya, hasil ijtima soal dana talangan pun merujuk dan memperbarui Fatwa DSN Nomor 29/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah. Kelanjutannya, DSN kemudian mengeluarkan Fatwa Nomor 79/DSN-MUI/III/2011 tentang Qardh dengan Menggunakan Dana Nasabah.

Hukum positif soal dana haji

Sementara itu, pengelolaan dana haji dalam ranah hukum positif yang mengakomodasi prinsip akad wakalah ini adalah UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. UU ini sekaligus menjadi payung hukum bagi keberadaan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

Tiga dari 17 poin dalam Pasal 1 UU tersebut menjelaskan definisi keuangan haji, dana haji, dan lebih khusus lagi soal dana abadi umat.

Keuangan haji adalah semua hak dan kewajiban Pemerintah yang dapat dinilai dengan uang terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji serta semua kekayaan dalam bentuk uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut, baik yang bersumber dari jemaah haji maupun sumber lain yang sah dan tidak mengikat,” bunyi poin pertama dari Pasal 1 UU Nomor 34 Tahun 2014.

Adapun dana haji, dijelaskan pada poin 2, mencakup BPIH, dana efisiensi penyelenggaraan haji, dana abadi umat, serta nilai manfaat yang dikuasai oleh negara dalam rangka penyelenggaraan ibadah haji dan pelaksanaan program kegiatan untuk kemaslahatan umat Islam.

Lalu, dana abadi umat dijelaskan sebagai sejumlah dana yang sebelum berlakunya Undang-Undang ini diperoleh dari hasil pengembangan dana abadi umat dan atau sisa biaya operasional penyelenggaraan ibadah haji serta sumber lain yang halal dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Terkait pengelolaan dana haji ini, Pasal 3 UU Nomor 34 Tahun 2014 menyatakan pengelolaan keuangan haji diamanatkan untuk tujuan meningkatkan kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji; rasionalitas dan efisiensi penggunaan BPIH; dan manfaat bagi kemaslahatan umat Islam.

Selain semua rincian tentang definisi dan kewenangan soal pengelolaan dan pemanfaatan dana haji, Pasal 26 UU Nomor 34 Tahun 2014 mengharuskan Badan Pengelola Keuangan Haji untuk:

  1. mengelola Keuangan Haji secara transparan dan akuntabel untuk sebesar-besarnya kepentingan Jemaah Haji dan kemaslahatan umat Islam;
  2. memberikan informasi melalui media mengenai kinerja, kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil pengembangannya secara berkala setiap 6 (enam) bulan;
  3. memberikan informasi kepada Jemaah haji mengenai nilai manfaat BPIH dan/atau BPIH Khusus melalui rekening virtual setiap Jemaah Haji;
  4. melakukan pembukuan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku;
  5. melaporkan pelaksanaan pengelolan Keuangan Haji, secara berkala setiap 6 (enam) bulan kepada Menteri dan DPR;
  6. membayar nilai manfaat setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus secara berkala ke rekening virtual setiap Jemaah Haji; dan
  7. mengembalikan selisih saldo setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus dari penetapan BPIH dan/atau BPIH Khusus tahun berjalan kepada Jemaah Haji.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com