Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irwan Suhanda
Editor dan Penulis

Editor dan Penulis

Stigma Sosial, Bagaimana Mengatasinya?

Kompas.com - 08/09/2017, 06:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

PULUHAN tahun yang lalu, saya punya seorang teman di kota kecil, Dodi (nama samaran). Kami sering bermain bersama teman-teman lainnya.

Namun pendidikan Dodi hanya sampai SMP saja. Orangtuanya tak sanggup meneruskannya ke bangku SMA. Alhasil, sehari-hari Dodi hanya menjaga toko kecil miliknya ayahnya.

Setahun kemudian, terdengar kabar bahwa tetangga Dodi, persis di samping rumahnya, terjadi “kebongkaran”, yaitu kemalingan. Barang-barang seperti radio transistor, gitar, uang, dan entah apalagi, hilang. Sontak tetangganya lapor polisi.

Setelah diselidiki, ada dua orang yang menjadi tertuduh sebagai pencuri. Ternyata, satu di antaranya adalah Dodi sendiri! Akhirnya ia ditangkap polisi, dan terbukti sebagai pencuri. Dodi dipenjara satu tahun lamanya.

Setahun kemudian Dodi bebas. Kembali kepada keluarganya.  Bergaul kembali dengan teman-teman lama yang lain.

Tetapi apa yang terjadi? Ternyata kehadiran Dodi di antara teman-temannya tidak diterima lagi! Tidak seperti dulu. Suasana telah berubah.

Lingkungan sosialnya telah terpatri bahwa Dodi seorang pencuri. Dodi seorang mantan narapidana. Lingkungan sosialnya tidak mau bergaul lagi dengan Dodi. Mereka takut tertular menjadi pencuri.

Betapa hancur hati Dodi melihat kenyataan ini. Dia kini seperti terasing di lingkungannya. Akhirnya, Dodi mencari dunianya sendiri. Dia terlibat narkoba. Salah siapa kalau terjadi seperti ini?

Cap Jelek  

Ketika kita masih sekolah, pasti masih ingat dengan teman yang paling nakal, teman yang paling pintar, atau guru yang paling galak. “Wah, si Tono tuh nakalnya minta ampun!” atau “ Pak guru matematika galaknya, huh!”.

Peribahasa mengatakan harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Artinya, segala perbuatan manusia, baik atau buruk, akan selalu diingat orang.

Demikian juga seorang pencuri akan dicap mantan pencuri walaupun ia tidak mencuri lagi. Seorang pembunuh akan dicap mantan pembunuh, walaupun ia tidak membunuh lagi. Juga seorang pemerkosa akan dicap mantan pemerkosa walaupun ia tidak pernah memerkosa lagi.

Nila setitik, rusak susu sebelanga. Gara-gara kesalahan kecil saja, akan membawa dampak yang besar. Segala perbuatan baik sebelumnya, seolah hilang begitu saja.

Tidak ada cara apa pun atau kuasa mana pun yang bisa menghapus rekam jejak seseorang. Bisa dilupakan, tetapi tidak bisa dihapus.

Stigma Sosial

Dalam psikologi sosial ada yang namanya “stigma sosial”, sebuah ciri negatif yang melekat pada seseorang kemudian ditolak keberadaannya di lingkungannya.

Arti “stigma” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tahun 2014, yaitu ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Sedangkan arti “sosial” yaitu berkenaan dengan masyarakat.

Jadi, arti “stigma sosial” adalah penolakan keberadaan seseorang atau kelompok pada lingkungan tertentu karena sudah dianggap tercela.

Apabila seseorang sudah terkena stigma sosial, maka secara pribadi sudah sangat dirugikan. Sangat sulit menghapus stigma yang telanjur melekat. Bahkan, dampak stempel stigma sering berujung pada pengucilan di lingkungannya.

 Lima Jenis Stigma

Ada lima jenis stigma yang selama ini diterapkan pada seseorang atau sekelompok orang, yaitu label/cap, prasangka, stereotip, diskriminasi, dan pengucilan.

Label/cap: stigma stempel negatif yang ditujukan pada seseorang/kelompok oleh masyarakat karena orang tersebut dianggap memiliki cacat fisik, cacat mental, masa lalu yang kelam, perbedaan suku, ras, atau agama.

Menurut sosiolog Edwin Lemert (1912-1996) stigma tercipta karena adanya primary deviance  dan secondary deviance. Apabila seseorang telah dicap atau dijuluki sebutan tertentu oleh masyarakat sekitarnya (primary deviance), maka kelak bisa menjadi kenyataan karena kerap dijuluki demikian (secondary deviance).

Misalnya, seorang anak yang diberi label bodoh, kemudian diperlakukan seperti anak bodoh, maka ia akan benar-benar menjadi anak bodoh!

Bentuk label atau cap negatif ini pada dasarnya sangat merugikan orang tersebut. Dengan adanya labeling ini berarti orang ini terkena hukuman kedua.

Akibat hukuman kedua ini, rasa percaya diri orang tersebut menjadi luntur, malu, sedih dijauhi orang, merasa kesepian, tak ada yang peduli.

Pemerhati anak, Seto Mulyadi, dalam acara “Gerakan Sejuta Tangan Sinergi Stop Stigma” (Republika.co.id., 1 September 2017) mengatakan,”Stigma di masyarakat, seolah ada sampah masyarakat, warga yang seolah tak usah dipedulikan, boleh dilanggar HAM-nya.”

Jadi, menurut Kak Seto, stigma dan diskriminasi secara tidak langsung merupakan pelanggaran HAM.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com