Prasangka: stigma berupa anggapan masyarakat terhadap seseorang yang dianggap tercela padahal belum tentu kebenarannya. Sikap prasangka merupakan sikap yang cenderung emosional, tidak rasional. Model stigma ini biasanya hanya ngomongin orang tersebut dari sisi negatifnya saja.
Menurut Jalaluddin Rachmat dalam buku Psikologi Komunikasi, prasangka adalah sikap negatif terhadap anggota kelompok tertentu yang semata-mata keanggotaan mereka dalam kelompok tertentu.
Akibat berprasangka maka hubungan dengan yang lain terganggu, terjadi ketegangan terus-menerus.
Gordon W. Allport dalam buku The Nature of Prejudice memerinci ada lima perspektif terjadinya prasangka, yaitu (1) prasangka antara senior dan yunior.
Kaum senior merasa berhak menindas, menekan, menyalahkan, dan berprasangka buruk terhadap kaum yunior yang lebih muda.
(2) prasangka timbul akibat situasi dan kondisi saat ini yang tidak kondusif. (3) prasangka yang disebabkan seseorang yang sedang frustrasi.
(4) prasangka yang timbul karena seseorang memandang secara berbeda pada lingkungan dan sekitarnya. (5) prasangka ditujukan kepada objek prasangka, bukan orang yang berprasangka.
Selain itu,adaprasangka rasial:timbulnya prasangka diskriminatif terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan. Menurut Krech, Crutcfield, dan Ballachey (1965) prasangka rasial sering ditemukan pada orang-orang yang sakit mental. Bahkan, sebagian ada yang mengalani pathological hostility (penyakit permusuhan).
Stereotip: stigma yang berbentuk penilaian secara umum kepada seseorang atau sekelompok orang hanya dilihat dari penampilan dan latar belakangnya saja.
Cara pandang stereotip seperti ini bisa menimbulkan prasangka positif dan negatif, tetapi umumnya negatif. Bahkan, bisa jadi menimbulkan sikap diskriminasi.
Walter Lippman, Sherif&Sherif, Larry A. Samovar, dan Richard E. Porter dalam buku Psikologi Umum karya Alex Sobur, menjelaskan bahwa stereotip merupakan kecenderungan seseorang/kelompok orang untuk menampilkan gambar atau gagasan yang keliru (false idea) mengenai kelompok orang lain. Gambaran yang keliru itu bersifat menghina, merendahkan, baik secara fisik atau tingkah laku.
Selain itu, penyebab timbulnya stereotip menurut Baron dan Paulus (Mulyana, 2000:220) dalam Psikologi Umum bahwa sebagai manusia cenderung membagi dunia ini dalam dua kategori: “kita” dan “mereka”, dan menilai berdasarkan informasi umum yang dianggap benar, generalisasi.
Misalnya, laki laki berpikir logis, perempuan emosional, orang Cina pandai berdagang, orang Prancis gemar minum anggur, dsb. Kemudian melihat orang bermata sipit, pasti orang China. Kalau melihat orang berkulit hitam, pasti orang negro. Orang Minang pintar berdagang.
Diskriminasi: stigma berupa perlakuan yang tidak seimbang dan tidak adil terhadap perorangan atau kelompok berdasarkan ras, suku, agama, golongan.
Hal ini biasanya dilakukan oleh kelas dominan terhadap minoritas. Diskriminasi biasanya diawali dengan prasangka. Dengan prasangka seolah timbul perbedaan antara “kita” dan “kalian”.
Fulthoni, et.al. (2009:9) dari thesis.binus.ac.id memaparkan jenis-jenis diskriminasi, yaitu 1. Diskriminasi berdasarkan suku/etnis, ras, dan agama/keyakinan. 2. Diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan gender (peran sosial karena jenis kelamin). 3. Diskriminasi terhadap penyandang cacat. 4. Diskriminasi terhadap penyandang HIV/AIDS. 5. Diskriminasi karena kasta sosial.
Pengucilan: stigma bentuk perlakuan terhadap seseorang atau kelompok yang menyebabkan merasa terasing, ditolak, dijauhi dari pergaulan sehingga merasa tidak diterima lagi oleh orang-orang sekitarnya. Jadi, pengucilan atau isolasi merupakan pemisahan antara yang memiliki stigma dan yang tidak memiliki stigma.
Mengatasi stigma yang melekat
Memang tidak mudah menyingkirkan stigma yang telanjur melekat. Manusia cenderung melihat sisi buruknya saja. Tetapi ada beberapa cara, mengurangi stigma.