“Saya tanya ke anak itu, enakkah?”
Dia bilang, “ternyata buah kelengkeng itu tidak enak, pahit.”
“Siapa bilang? manis begitu,” Anissa menegaskan.
“Pahit Bu, keras lagi,” jawab siswanya.
“Masya Allah, ternyata dia kupas kulitnya tapi dimakan sama bijinya,” tuturnya.
Pendampingan guru bagi siswa berkebutuhan khusus memang perlu dilakukan intensif.
Kebijakan yang tidak berpihak pada disabilitas
Saat ini, anak-anak didik Anissa di SLB Negeri Bontang tengah belajar mengenali uang. Ternyata, uang cetakan baru yang dikeluarkan Peruri sulit sekali dikenali oleh penyandang tunanetra.
Uang cetakan lama, ia melanjutkan, lebih tebal kertasnya, berkontur, dan berbeda ukuran untuk tiap pecahan. “Bu kok sulit ya Bu untuk membedakan,” katanya menirukan ungkapan anak didiknya.
Tiga siswa tunanetra dan seorang siswa tunaganda (tunanetra dan autisme) yang didampingi Annissa hingga kini belum dapat membedakan pecahan uang baru tersebut. Uang pecahan lima ribu dan dua ribu yang baru saja tidak bisa dikenali perbedaannya.
“Pemerintah sepertinya lupa untuk membedakan atau menandai uang cetakan baru agar penyandang disabilitas bisa mengenali uang,” katanya
Keluarga menghambat pendidikan
Upaya mendidik siswa berkebutuhan khusus tak semudah membalik telapak tangan. Guru SLB harus meyakinkan orangtua atau keluarga besarnya dulu, baru bisa mendidik anak berkebutuhan khusus.
Salah satu orangtua siswa SLB Negeri Bontang berniat menghentikan proses penddiikan karena merasa capek setiap hari harus mengantar jemput anaknya. “Padahal, Bontang wilayahnya kecil, tidak jauh dari rumah ke sekolah itu,” katanya.
Anak-anak berkebutuhan khusus itu dibebaskan biaya sekolah selama menempuh pendidikan di SLB Negeri Bontang. Selain itu, mereka diberi seragam dan sepatu sekolah.
Namun, satu hari, seorang anak tidak memakai sepatu yang diberikan. Saat ditanya guru, anak itu menjawab, “(Sepatu) Dipakai adikku,” ungkapnya.
Kenyataan ini menyadarkannya bahwa anak-anak berkebutuhan khusus tidak menjadi prioritas di dalam keluarga. Anak-anak itu dinomorduakan dalam pencurahan perhatian dan kasih sayang.
Peristiwa lain yang begitu diingat adalah seorang ibu tetap mengantar anaknya yang muntah-muntah dan badannya panas ke sekolah. Ia menegur ibu itu karena anak itu sakit dan tidak mungkin mengikuti pelajaran. Namun jawabannya yang diterima dari si ibu, “Enggak apa-apa sekolah, tidak ada orang di rumah. Saya harus kerja.”
Bagi sekalangan orangtua, sekolah seolah menjadi tempat penitipan anak karena orangtua harus bekerja.
Setiap tahun, sekolah memberi pembekalan bagi orangtua. Misalnya, bagaimana mengajarkan toilet training, menggunakan pakaian sendiri dengan membedakan mana bagian dalam atau luar baju.
Tak sedikit orangtua yang enggan bekerja sama memperkaya keterampilan agar dapat mendampingi anak berkebutuhan khusus di rumah.