Sebagian kita baru-baru ini pasti sudah ada yang nonton film “Dilan” yang booming itu, atau baca bukunya, atau dua-duanya.
Baru kemarin saya baca bukunya, setelah istri saya minta dibelikan. Itu pun gara-gara saya sendiri juga, yang tidak mau baca “PDF”-nya. Saya bilang di telepon, “Kita harus menghargai penulis Indonesia Bunda, jadi mending baca bukunya langsung daripada baca bajakannya.”
Lalu istri saya bilang “Ya sudah, beliin bukunya, semua ya, cuma tiga jilid kok. Oh iya sama sekalian bukunya Pidi Baiq yang lain, cuma empat jilid. Jadi total tujuh jilid. Daripada aku baca PDF-nya, bajakan, iya to??”
Saya agak kaget, produktif juga penulis kita ini “Tujuh buku ya..mmm..eengg..iya besok Ayah beliin.”
Suara saya terdengar sayup-sayup makin ga jelas dan tiba-tiba kepala saya agak pusing, dari seberang telepon terdengar teriakan kecil “Asiik..dibeliin semua bukunya, bener lo ya, bener loo.”
Tidak lama kemudian waktu anak-anak sedang sekolah, saya sudah nenteng semua bukunya Pidi Baiq di kasir sebuah toko buku diskon. Saya yang bawa bukunya, istri pegang dompet saya. Memang tidak jadi tujuh jilid, tapi enam. Karena yang satu jilid kebetulan baru kosong.
“Iya betul, kita harus mengkoleksi dan mengapresiasi karya penulis Indonesia ya Yah.” Katanya sambil membolak-balik buku novel yang lain. “Iya…” jawab saya sambil meringis.
Sampai minggu kemarin, saya selain beli juga ditugasi baca, dan sudah khatam buku Dilan yang pertama dan baru jalan yang kedua, musti saya selesaikan dalam dua hari. “Biar kita ngobrolnya nyambung.” Kata istri saya.
Nah itu perkenalan singkat saya dengan Dilan. Bukunya menarik, tapi tidak sampai membuat saya senyum-senyum sendiri seperti cerita, status, dan resensi para mamah-mamah muda yang bertebaran di media sosial itu.
Pasti mereka kepingin banget seperti Milea, digombalin a la Dilan. Diberi ramalan absurd, dikasih buku TTS (Teka-Teki Silang) sebagai hadiah ulang tahun, dikasih coklat yang diantar loper koran atau petugas PLN, dikirimin tukang pijat ke rumah, atau hal-hal unik yang lain.
Karena setting ceritanya tahun 1990-an, saya kemudian membayangkan mas-mas atau mbak-mbak karyawan swasta, PNS, atau pengusaha yang masih single terinspirasi dan mencoba menjadi unik seperti Dilan untuk menemukan pasangannya.
Saya bayangkan populasi ini berusia mendekati kepala tiga atau di awal tiga puluh tahun dan masih berjuang menemukan pasangan terbaiknya untuk menjalani sisa hidupnya dengan bahagia.
Tapi saya bilang begini, menjadi Dilan itu berat mas dan mbak, biar Dilan saja yang begitu.
Saya punya cara ampuh yang lebih realistis dan sudah terbukti secara ilmiah yang mungkin bisa speed up,bisa membantu mempercepat dalam perjuangan menemukan pasangan anda.