Kata seorang teman yang lain, yang terpenting adalah kualitas hubungan dengan anak, bukan kuantitas.
Saya kurang setuju karena kualitas hubungan dengan anak tidak bisa dipisahkan dari kuantitas interaksinya. Anak di bawah tujuh tahun menurut teori perkembangan kognifit masih memiliki pemikiran “operasional konkrit” yaitu berinteraksi dengan apa yang dilihat, didengar, dan dirasakannya secara langsung.
Saya termasuk yang sudah merasakannya, selama setahun ketika hanya bertemu anak paling banter dua minggu sekali, saya mendapati anak saya tidak memiliki hubungan yang “berkualitas” dengan saya. Dalam arti anak jadi tidak terlalu tertarik bermain dengan saya.
Tapi bisa jadi saya salah, dengan kuantitas yang demikian (tidak bertemu anak setiap hari) tetap hubungan teman saya dengan anaknya bisa berkualitas. Wallahualam..
Pertanyaan mendasar yang harus muncul dalam pengasuhan (parenting) adalah. Apa tujuan orangtua mengijinkan anak bermain? Sebagian mungkin masih menganggap permainan itu suplemen bagi pendidikan anak, masih banyak orangtua bilang “Ayo jangan main terus, sekarang waktunya belajar!”
Menurut Ki Hajar pendidikan anak usia pra-sekolah dasar adalah latihan panca-indria. Latihan panca-indria akan lebih optimal apabila didapatkan melalui permainan. Jadi pendidikan anak adalah permainan itu sendiri!
Persis di sini interaksi anak-orangtua memberikan pengaruh yang sangat besar. Apakah kemudian kita harus mengijinkan anak bermain sepuasnya? Tentu saja tidak! Kalau demikian jadinya, tidak perlu ada orangtua.
Orang tua-lah yang seharusnya memegang kendali bagaimana anak mengoptimalkan panca-indrianya melalui bermain. Orangtua lah yang harus punya pengetahuan permainan apa saja yang akan mempengaruhi perkembangan anak.
Aspek yang dikembangkan melalui permainan tertentu, memberikan rambu-rambu, dan mengeliminasi permainan-permainan yang tidak bermanfaat. Dalam sebuah buku kecil seorang ibu rumah tangga dengan dua anak balita berjudul “Saat Kamu Bertambah Besar” yang disampaikan terbatas dari mulut ke mulut dan melalui Instagram ig @rumahmentariku.
Penulisnya seperti memberikan wejangan pada anak bahwa “Nak, kamu bebas bermain, tapi kamu punya batas mana yang boleh, mana yang tidak boleh.”
Lagipula, kita sebagai bangsa Indonesia memiliki kekayaaan mainan tradisional yang sayangnya sudah banyak ditinggalkan. Padahal permainan-permainan itu yang mewarnai perkembangan tokoh-tokoh pendiri negeri kita.
Mari kita simak sedikit penuturan Ki Hajar Dewantara dalam nukilan artikelnya di majalah Wasita, Jilid 1 No.1 bulan Oktober 1928 :
“…Sedikit contoh bolehlah disebutkan disini. Permainan anak Jawa seperti : sumbar, gateng, unclang itu mendidik anak agar teliti, cekatan, dan menjernihkan penglihatan. Permainan dakon, cublak-cublak suweng, kubuk, itu mendidik anak tentang perhitungan dan pengiraan (pen-kognitif). Permainan gobag sodor, trembung, raton, cu, geritan, obrog, panahan, si, jamuran, jelungan itu bersifat sport, mendidik kuat sehatnya badan, kecekatan, dan keberanian (pen-motorik kasar). Permainan ngronce, menyulam janur, atau membuat tikar itu untuk pendidikan keteraturan dan tabiat tertib (pen-motorik halus). Nyatalah tidak usah kita mengadakan barang tiruan kalau memang kita sudah mempunyainya sendiri...”
Sumber :
“Pendidikan” Kumpulan tulisan Ki Hajar Dewantara
“Saat Kamu Bertambah Besar” buku kecil tulisan Rahmawati Putri
https://grandchallenges.ucla.edu/happenings/2016/08/27/its-digital-heroin-how-screens-turn-kids-into-psychotic-junkies/
https://www.nytimes.com/2017/04/01/opinion/sunday/video-games-arent-addictive.html
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.