Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

“Berbeda” Bukan Berarti Harus Disingkirkan

Kompas.com - 02/04/2018, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

The child that is hungry must be food. The child that is sick must be nursed. The child that is physically and mentally handicaped must be helped. The maladjusted child must be reeducated. The orphan and the waif must be sheltered and secured. (Deklarasi Hak Anak)

Pada saat Adolf Hitler berkuasa di Jerman, kaum Nazi Jerman mengembangkan konsep rasisme yang mengunggulkan ras Arya (orang Jerman) sebagai ras paling unggul di muka bumi.

Oleh karena itu salah satu tugas mereka adalah menyingkirkan musuh, orang-orang yang “berbeda” dianggap sebagai manusia yang tidak berguna, dengan demikian masyarakat akan steril dan berdaya guna. Tindak lanjutnya adalah pembersihan etnis dan menyingkirkan mereka yang membebani masyarakat, termasuk orang Jerman sendiri.

Akhir tahun 1938, Dr.Karl Brandt, dokter pribadi Hitler, memberikan sebuah surat kepada Hitler. Surat itu berisi tentang permintaan izin seorang ayah untuk membunuh anaknya yang cacat. Hitler setuju.

Anak itu kemudian dibunuh pada bulan Juli 1939. Lebih jauh lagi Melalui memo rahasia tanggal 1 September 1939, Hitler memerintahkan orang-orangnya untuk menghabisi semua anak cacat di seluruh Jerman karena mereka hanya akan membebani keuangan masyarakat dan negara.

Hitler kemudian membuat program Aktion-T yang dipimpin Philip Bouhler untuk menyeleksi dan membunuh anak-anak cacat dalam hitungan hari setelah mereka lahir. Bouhler memerintahkan untuk mencari anak-anak yang diduga cacat, kemudian menuliskan biodata dan ciri-ciri anak itu di selembar formulir.

Formulir itu kemudian diserahkan kepada para dokter khusus yang akan menentukan apakah anak tersebut layak untuk hidup; jika tidak, mereka akan menandai formulir itu dengan tanda “X”. Setelah itu, mereka akan ditugaskan untuk menjemput anak yang dianggap “tak layak hidup” untuk kemudian dikumpulkan dan dibunuh.

Sampai dengan Oktober 1941 program Aktion-T telah “berhasil” membantai 200.000 anak cacat melalui berbagai metode keji, misalnya dengan menyuntikkan luminal atau morfin dengan dosis yang mematikan ke dalam tubuh, dilaparkan hingga meninggal, atau dimasukkan ke dalam ruang gas beracun.

Sejarah juga menunjukkan bahwa individu yang dianggap “berbeda” dengan orang kebanyakan lebih sering ditolak keberadaannya dalam masyarakat. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa anggota kelompok yang terlalu lemah (penyandang cacat) tidak mungkin dapat berkontribusi terhadap kelompoknya.

Mereka yang berbeda karena menyandang kecacatan, disingkirkan, tidak memperoleh sentuhan kasih sayang dan kontak sosial yang bermakna. Keberadaan penyandang cacat tidak diakui oleh masyarakat. Lebih jauh lagi, ketidaktahuan orangtua dan masyarakat menyebabkan munculnya kepercayaan dan keyakinan bahwa memiliki anak cacat merupakan hukuman dari Tuhan.

Oleh sebab itu di masa lalu banyak penyandang cacat yang disembunyikan oleh orangtua atau keluarganya karena memiliki anak cacat merupakan sebuah aib. Demikian disampaikan oleh Dr. Dedy Kurniadi, dosen program studi pendidikan khusus di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dalam makalahnya “Konsep Dasar Pengelolaan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus/ABK.”

Bahkan beberapa waktu yang lalu sempat diliput di berbagai media, di Bekasi masih dapat ditemukan anak yang dipasung karena mengalami gangguan kejiwaan. Hal ini dialami oleh Gia Wahyuningsih yang baru berusia 5 tahun dan sudah dipasung di dinding rumah oleh ayahnya sejak usia 2 tahun. Alasannya, tidak ada yang merawat selama ayahnya mengamen.

Gia dipasangi ikat pinggang yang dililitkan kain, lalu diikat ke paku besar yang ditancapkan di dinding rumah. Sejak usia 2 tahun Gia sudah menunjukkan gejala keterbelakangan mental, tidak mampu merawat diri sendiri, dianggap hiperaktif dan tidak bisa berbicara. Akibat pemasungan ini memperparah kondisi psikologis Gia.

Untungnya kejadian ini diketahui oleh seorang perangkat desa yang kemudian melaporkannya ke polisi. Kesehatan Gia sudah berangsur-angsur membaik meski secara kejiwaan sudah cukup parah dan perawatannya kini menjadi tanggung jawab pemerintah Kota Bekasi.

Kejadian ini bisa saja terjadi di tempat lain dan Gia-Gia yang lain masih dalam keadaan menderita diabaikan perawatannya, “ditolak” keberadaannya oleh orangtuanya sendiri, atau bahkan dipasung supaya tidak terlihat oleh orang lain.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau