Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

“Berbeda” Bukan Berarti Harus Disingkirkan

Kompas.com - 02/04/2018, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Orangtua merupakan pihak yang paling bertanggung jawab untuk mendidik anaknya yang memiliki kebutuhan khusus. Apabila anak sudah kehilangan perhatian dari orangtuanya maka tugas pemerintah-lah yang seharusnya memelihara dan memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini.

Pemerintah dalam Undang-Undang (UU) No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 15 dinyatakan secara jelas bahwa pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan misalnya tuna netra, tuna rungu, tuna daksa atau peserta didik yang mempunyai kecerdasan yang luar biasa.

Penyelenggaraan pendidikan khusus dilaksanakan secara berkelompok atau berupa satuan khusus pada tingkat dasar dan menengah. Semua anak, baik normal maupun tuna (berkebutuhan khusus) memiliki kesempatan sama di dalam hal pendidikan dan pengajaran.

Namun harus diakui bahwa anak yang mengalami ketunaan memiliki berbagai hambatan dan kelainan dalam kondisi fisik dan psikisnya sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan perilaku dan kehidupannya.

Tentu saja kita tidak ingin anak-anak menjadi terlantar dan perawatannya harus ditangani oleh pemerintah. Apalagi di Indonesia, meski pemerintah memiliki Departemen Sosial yang salah satu tugasnya menangani dan merawat anak-anak terlantar, masih banyak anak-anak di bawah umur yang berkeliaran di jalan-jalan dan tinggal di lingkungan kumuh sehingga tidak layak untuk perkembangan kesehatan baik fisik maupun psikis bagi anak.

Tampaknya pemerintah kewalahan untuk merawat mereka seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sehingga mereka tidak punya pilihan selain menggelandang atau terpasung.

Oleh karena itu, sebenarnya orangtua yang menelantarkan anaknya sendiri karena “berbeda” dengan anak-anak yang lain bisa disebut sebagai kejahatan.

Kurangnya informasi dan tidak adanya kemampuan diagnosis dari para orang tua (self diagnose) membuat anak-anak tersebut tidak mendapatkan penanganan sebagaimana mestinya, yang lebih ironis apabila orangtua juga masih merasa malu untuk mengakui bahwa anaknya memiliki kebutuhan khusus sehingga enggan untuk memeriksakan dan mencari informasi mengenai gejala-gejala yang terjadi pada anaknya. Sehingga mengorbankan atau bahkan menghilangkan peluang anak untuk diberikan penanganan yang lebih optimal, hanya gara-gara gengsi orangtuanya.

Namun demikian saat ini sudah banyak orangtua yang tidak lagi enggan untuk memeriksakan anaknya yang “berbeda”, bahkan sudah banyak komunitas-komunitas orangtua yang bersama-sama saling berbagi informasi mengenai anak berkebutuhan khusus. 

Hal ini merupakan perkembangan yang positif, pemerintah seharusnya bisa mengejar dan menyesuaikan diri, meski sudah ada pernyataan bahwa setidaknya dalam satu daerah ada satu sekolah inklusi, yaitu bahwa sekolah harus menerima atau mengakomodasi semua anak, tanpa kecuali ada perbedaaan secara fisik, intelektual, sosial, emosional, bahasa, atau kondisi lain, termasuk anak penyandang cacat dan anak berbakat, anak jalanan, anak yang bekerja, anak dari etnis, budaya, bahasa, minoritas dan kelompok anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan. Inilah yang dimaksud dengan “one school for all”.

Namun banyak sekolah inklusi ini belum dilengkapi fasilitas yang memadai, pengetahuan guru mengenai sekolah inklusi masih terbatas, bahkan masih ada, kalau tidak mau dikatakan masih banyak, yang enggan menerima bahkan “menolak” anak berkebutuhan khusus dengan berbagai alasan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com