Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Sejarah Institusi Pendidikan di Nusantara (2)

Kompas.com - 23/04/2018, 14:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Banyak orang tua murid menyekolahkan anaknya ke AMS, karena dengan harapan dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu misalnya ke THS di Bandung (Technische Hooge School – didirikan tahun 1920 – sekarang – Institut Teknologi Bandung – ITB), RHS di Jakarta (Rechts Hooge School – didirikan tahun 1924 – sekarang Fakultas Hukum UI Jakarta), atau GHS di Jakarta (Geneeskudige Hooge School – didirikan tahun 1924 – sekarang Fakultas Kedokteran UI Jakarta) sebelumnya sekolah ini bernama STOVIA (School Tot Opleiding van Indische Artsen) yang berdiri sejak 1853, ke Bogor di Landbouw Hooge School – didirikan tahun 1940 – sekarang Institut Pertanian Bogor – IPB.

Melalui AMS berarti harus menyelesaikan MULO lebih dahulu yang tersebar di semua kabupaten, sedangkan kalau melalui HBS hanya ada di Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta, atau Medan.

AMS afdeling B (ilmu alam), sekarang SMU 3 Yogyakarta. AMS memiliki beberapa jurusan, Jalur A afdeling atau SMA Bagian-A pada tahun 1951 atau sekarang jurusan IPS, di mana akan ditekankan pada ilmu sastra dan budaya, jalur ini hanya untuk meneruskan ke RHS saja. Jalur B afdeling atau SMA Bagian-B pada tahun 1951 atau sekarang jurusan IPA, di mana akan ditekankan pada ilmu alam dan ilmu pasti, jalur ini dapat ke semua jurusan RHS, THS, GHS, ataupun LHS.

Pada waktu itu, para guru AMS berpendidikan tinggi dari RHS, THS, GHS, ataupun LHS. Sehingga misalnya guru aljabar pada umumnya menyandang gelar Ir., guru sejarah menyandang gelar Mr., atau guru botani menyandang gelar dokter (Arts).

Selain melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah, lulusan HIS juga bisa melanjutkan pendidikannya ke jalur pendidikan khusus pamong praja seperti OSVIA (Opleiding School voor Indlandsch Ambtenaren) selama 5 tahun untuk langsung bekerja sebagai pamong praja, sekolah ini juga disebut “sekolah menak” karena murid-muridnya kebanyakan adalah anak para priyayi seperti bupati, patih, atau wedana.

OSVIA didirikan pada tahun 1879 di Bandung. Pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan sekolah yang serupa yaitu MBS (Middlebare Besture School) di Malang. Sekarang sekolah ini berubah nama menjadi IPDN (Institut Pendidikan Dalam Negeri) yang ada di Jatinangor, Bandung, Jawa Barat dan IIP (Institut Ilmu Pemerintahan) yang ada di Jakarta.

Setelah masa kolonial berakhir, sistem pendidikan kolonial ini banyak diadaptasi oleh pemerintah Republik Indonesia menjadi sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau yang setara, sebagai syarat untuk melanjutkan jenjang yang lebih tinggi (Universitas). Sistem jenjang institusi pendidikan semacam ini juga dipakai dibanyak negara, sehingga seharusnya secara institusional seharusnya tidak lagi menjadi masalah.

Masalah-masalah terkait pendidikan dan kualitas pengetahuan anak muncul bukan karena sistemnya tapi karena pengambil kebijakan dan orang-orang yang ada didalamnya, apakah benar-benar mengimplementasikan pendidikan dan pengajaran dengan baik. Atau jangan-jangan seperti yang saya pernah tuliskan disini dua minggu yang lalu, justru mengkhianati visi pendidikan nasional itu sendiri.

Seharusnya pendidikan nasional itu seperti yang dikatakan Ki Hajar Dewantara yaitu untuk membuka batin (rasa-spiritual), memerdekakan pikiran (cipta) dan membangun kemandirian (karsa), tapi yang terjadi adalah sekolah sebagai sarana pemuas nafsu materialisme.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau