Perhimpunan Pelajar Indonesia
PPI

Perhimpunan Pelajar Indonesia (www.ppidunia.org)

UNBK dan Cara Berpikir Kritis

Kompas.com - 30/04/2018, 07:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pelatihan ini diadakan karena kesadaran Australia akan gap antarsistem pendidikan mahasiswa internasional dari negara-negara berkembang peserta AAS.

Kebanyakan siswa dari negara-negara dunia ketiga di Asia itu tidak mengenal bentuk formal dari struktur tulisan serta bagaimana pengaruh pilihan kata terhadap intensi dari pesan yang terungkap bagi pembaca. Mereka juga kurang memiliki tendensi untuk menemukan kekurangan dari literatur.

Kekurangan akan kemampuan dan sikap kritis ini menyebabkan mereka "secara alami" gagal menganalisis dan menunjukkan kekuatan serta kelemahan dari suatu argumen, sehingga terkesan melumat mentah-mentah pendapat ahli dari suatu tulisan.

Mengingat bahwa menulis juga diartikan sebagai proses untuk menawarkan inovasi, maka tulisan yang tidak kritis akan menyumbang nihil bagi pengetahuan. Di Barat, cara menulis seperti ini diganjar dengan skor minimal.

Tentu, pengalaman itu menjelaskan mengapa pada awalnya saya kesulitan karena saya termasuk mahasiswa yang jarang terpapar dengan tugas kuliah yang memberi ruang berpikir untuk menemukan suatu gagasan baru.

Bahkan bila ditilik lebih jauh, pendidikan wajib 12 tahun yang saya dan kebanyakan siswa di Indonesia alami hingga kini jarang memberi kesempatan untuk bernalar kritis.

Hal ini terlihat dari metode penilaian yang lebih banyak berbentuk pilihan ganda ketimbang esai atau pertanyaan terbuka.

Selain karena faktor kemudahan untuk mendapatkan nilai kuantitatif, hal ini juga mungkin disebabkan guru-guru kita adalah produk pendidikan tradisional yang sama, yang tidak menjumpai pentingnya daya analisis dalam proses pendidikan mereka.

Karenanya, bagi saya seharusnya berpikir kritis telah diajarkan dan diujikan mulai puluhan tahun lalu sedari sekolah dasar hingga kuliah, dalam pelajaran baik ilmu alam dan sosial. Itu perlu bila Indonesia ingin mengejar ketertinggalan.

Cara-cara pendidikan lama yang menekankan hafalan semata harus secara perlahan diubah. Apalagi bila mempertimbangkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan populasi terbanyak dan diproyeksikan menjadi bagian dari kompas peradaban dunia baru.

Dengan membawa optimisme saya katakan bahwa cita-cita bangsa itu sulit diwujudkan, tetapi bukan mustahil untuk dikabulkan.

Yang dibutuhkan hanya keterbukaan untuk mau melatih satu karunia dari Tuhan yang membuat kita manusia sebagai mahkluk paling sempurna. Akal, tentu saja.

Ahmad Sulaiman

Mahasiswa Master Psikologi Kognitif dan Pendidikan di Universitas Flinders, Australia. Sekretaris Jendral PPI Australia (ppidunia.org) 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau