Di negeri yang kemudian bernama Indonesia, sejak awal sekolah didirikan dengan tujuan utama menyiapkan tenaga pegawai rendahan untuk membantu berputarnya ekonomi dan pemerintahan kolonial. Tujuannya bukan mendidik warga menjadi cendekia yang berpikir kritis, bekerja mandiri, berwawasan inovatif dan kreatif.
Setelah merdeka, kondisi Indonesia porak-poranda karena perang dan revolusi sosial. Perang Dingin di tingkat dunia mengganggu stabilitas nasional. Kaum politikus sibuk bertikai tanpa henti, dan berpuncak pada pembantaian 1965.
Baru setelah Orde Baru berkuasa (1966) dan dilanjutkan setelah hingga keruntuhannya (1998), pendidikan mengalami pertumbuhan besar-besaran secara kuantitas. Kesempatan bersekolah bagi anak-anak usia sekolah terbuka luas. Kesenjangan bersekolah antarwilayah, dan antar jenis kelamin dipersempit.
Namun, masalahnya, peningkatan kualitas berjalan sangat lamban.
Dalam kualitas pendidikan, masih ada kesenjangan serius antara Jakarta dan daerah. Jakarta sendiri tertinggal jauh dari negara-negara lain di tingkat global. Bahkan tertinggal parah dibandingkan tetangga terdekatnya di Asia Tenggara.
Sudah banyak penelitian terdahulu (maka tak perlu dikutip ulang) yang menggambarkan rendahnya mutu pendidikan dan penelitian Indonesia, baik tingkat kemampuan siswa sekolah dasar dan menengah maupun karya akademik para sarjana di perguruan tinggi. Padahal, rekan-rekannya di negeri bekas jajahan yang lain menempati peringkat tinggi.
Masalahnya bukan karena orang Indonesia kurang cerdas. Sebagian sebabnya intervensi eksternal yang terlalu sering sehingga merusak pengelolaan lembaga pendidikan.
Pemerintah dan partai-partai politik yang berkuasa dalam pemerintahan ikut campur dalam pengelolaan kurikukum, pengelolaan tenaga pendidik, pimpinan perguruan tinggi, hingga pengangkatan guru besar.
Sebagian lain karena dasar-dasar pendidikan keilmuan (berbeda dari penataran keterampilan) sangat lemah dalam tradisi belajar-mengajar di negeri ini sejak masa kolonial.
Ini lanjutan dari kebijakan kolonial yang sudah saya sebut di atas: tujuan utama pendidikan bukan menyiapkan kaum cendekia yang berpikir kritis, bekerja mandiri, berwawasan inovatif dan kreatif. Namun, pegawai negeri dan profesional yang siap kerja secara patuh.
Sejak Indonesia merdeka, ideologi telah membelah bangsa ini, juga di lembaga pendidikan. Setelah 1965, ratusan ribu atau jutaan warga akademik kehilangan hak sipilnya dalam bekerja atau belajar di dunia pendidikan karena alasan ideologis.
Setelah lulus SMA, saya mendaftar beberapa perguruan tinggi di kota kelahiran karena terbatasnya dana keluarga. Perguruan tinggi pertama menolak karena latar belakang ras keluarga saya.
Yang kedua menerima, tetapi menuntut pembayaran uang masuk lima kali lipat dari angka resmi, lagi-lagi karena latar belakang ras keluarga saya. Sayangnya, tuntutan mereka jauh dari jangkauan ekonomi keluarga kami.
Menjelang akhir masa Orde Baru, saya lulus studi program studi doktor di Australia. Saya mencari kerja sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi, tetapi gagal kali ini karena latar belakang agama.
Beberapa sahabat dengan jabatan lumayan tinggi di universitas tersebut menjelaskan bahwa masalahnya bukan saja agama saya tidak sesuai dengan agama mayoritas di lembaga itu. Bahkan kalaupun agama saya sudah sama, jika aliansi organisasi keagamaan saya berbeda dari mereka, proses rekrutmen akan tetap sulit.